Ritual Duduk Bersejarah, Menguak Makna Sesi di Pelaminan Adat Kawinana Dayak

Pernikahan Dayak
Sumber :
  • https://ceritalokal.info/2024/12/29/keindahan-dan-filosofi-pakaian/

Budaya, VIVA BaliPernikahan adat Suku Dayak, yang sering disebut Kawin Adat, merupakan salah satu perayaan budaya yang paling kaya dan sarat makna di Kalimantan. Prosesi ini tidak hanya merayakan bersatunya dua insan, tetapi juga melibatkan serangkaian ritual yang penuh simbolisme dan nilai filosofis. Salah satu bagian yang paling penting dalam upacara ini adalah sesi duduk di pelaminan adat, di mana kedua mempelai menjalani berbagai tahapan sakral sebagai peneguhan ikatan rumah tangga.

Makna Sosial Tari Boboko Logor, Ketika Bakul Nasi Menjadi Bahasa Seni

Paramun Kawin Adat, Kursi yang Penuh Makna

Dalam tradisi Dayak Ngaju, tempat duduk kedua mempelai disebut Panganten Hatatai atau “Duduk Berdampingan”. Tempat ini bukan kursi biasa, melainkan dilengkapi dengan kelengkapan adat yang disebut Paramun Kawin Adat. Uniknya, kursi pengantin utama seringkali berupa sebuah gong (garantung) yang diletakkan terbalik atau beralaskan tikar khusus yang disebut Amak Uwei. Simbol ini menandakan bahwa kehidupan rumah tangga harus berlandaskan keharmonisan, keseimbangan, dan penghormatan pada leluhur.

Makna dan Estetika Gerakan Tari Ngajat Dayak Iban

Manyaki Mamalas, Penyucian Jiwa dan Raga

Salah satu sesi penting saat mempelai duduk di pelaminan adalah Manyaki Mamalas atau penyucian. Dalam ritual ini, telur ayam (tanteloh) digulingkan atau dipecahkan di bawah tempat duduk kedua mempelai. Simbol ini melambangkan pembersihan diri dari kesialan atau nasib buruk di masa lalu. Ritual kemudian dilanjutkan dengan percikan air Tampung Tawar menggunakan daun sawang. Tindakan ini dimaknai sebagai upaya penyucian diri sekaligus doa agar rumah tangga kedua mempelai dijauhkan dari mara bahaya dan diberkati keselamatan.

Keindahan Gerakan Tari Legong, Seni Klasik Bali yang Memikat

Panganten Hatatai, Peneguhan Janji Hidup Bersama

Duduk berdampingan di pelaminan juga menjadi simbol awal dimulainya kehidupan berumah tangga. Pada sesi Panganten Hatatai, kedua mempelai memegang benda-benda adat seperti rotan sigi dan tombak bersayap (Rabayang) yang diikat dengan daun sawang. Rotan sigi melambangkan kelenturan sekaligus kekuatan ikatan perkawinan yang akan terus bertumbuh. Sementara tombak bersayap adalah simbol perlindungan dan doa restu, mempertegas janji kedua mempelai untuk setia dan saling mendukung.

Behas Hambaruan, Taburan Berkah Kehidupan

Ritual berikutnya adalah Behas Hambaruan, di mana beras ditaburkan di atas ubun-ubun kedua mempelai oleh tetua adat. Tindakan ini melambangkan doa agar pasangan yang baru menikah senantiasa sehat, sejahtera, dan dilimpahi rezeki. Beras dalam kepercayaan Dayak merupakan simbol kehidupan, sehingga penaburannya diyakini membawa keberkahan dan kelangsungan hidup bagi keluarga baru.

Be’ajar, Petuah Kehidupan dari Para Tetua

Tahap terakhir dalam prosesi duduk di pelaminan adalah sesi Be’ajar atau pemberian petuah. Para tetua adat atau Temenggung Adat akan menyampaikan nasihat moral dan ajaran tentang bagaimana hidup belum bahadat (hidup beradab) dalam berumah tangga. Petuah ini menjadi bekal penting bagi pasangan baru untuk menjaga keharmonisan, saling menghormati, dan menjalani rumah tangga sesuai nilai-nilai luhur masyarakat Dayak.

Makna Sakral di Balik Sesi Pelaminan

Keseluruhan rangkaian ini menegaskan bahwa duduk di pelaminan adat Dayak bukanlah sekadar formalitas dalam sebuah pesta pernikahan. Duduk tersebut adalah panggung suci di mana pasangan suami-istri melewati proses penyucian, peneguhan janji, penerimaan berkah, hingga pembekalan nilai moral. Melalui simbol-simbol yang kaya filosofi, tradisi ini mengajarkan bahwa pernikahan bukan hanya menyatukan dua insan, melainkan juga menyatukan keluarga besar, masyarakat, dan leluhur dalam doa bersama.