Sekaten, Perayaan Maulid Nabi yang Menyatukan Budaya dan Keimanan

Tradisi sekaten.
Sumber :
  • https://kemenag.go.id/opini/esensi-dakwah-perayaan-sekaten-lmg5bm

Budaya, VIVA Bali – Setiap tahun, langit malam Yogyakarta dan Surakarta dipenuhi suara gamelan yang syahdu. Dentingan nada itu bukan sekadar musik, melainkan tanda dimulainya sebuah perayaan yang telah diwariskan ratusan tahun.

Keindahan Tari Gambyong, Simbol Kelembutan Perempuan Jawa

Bagi sebagian orang, Sekaten identik dengan pasar malam dan keramaian rakyat. Tetapi jika ditelusuri lebih dalam, tradisi ini memiliki esensi dakwah Islam yang begitu kuat. Ia menjadi ruang di mana agama dan budaya berjumpa, lalu berbaur menjadi sebuah perayaan penuh makna.

Jejak Awal Sekaten

Kata “Sekaten” diyakini berasal dari Syahadatain, dua kalimat syahadat yang menjadi dasar keimanan seorang Muslim. Para wali, khususnya Wali Songo, memanfaatkan pendekatan budaya untuk menyebarkan Islam di tanah Jawa. Melalui gamelan, pertunjukan keraton, dan ritual adat, pesan dakwah disampaikan dengan cara yang lembut dan mudah diterima masyarakat kala itu.

Sisingaan Subang, Simbol Perlawanan dan Persatuan Warga

Sejak saat itulah, Sekaten bukan hanya perayaan tahunan, melainkan juga simbol keberhasilan dakwah Islam yang merangkul budaya Jawa tanpa menghapus identitasnya.

Esensi Dakwah dalam Sekaten

Setiap prosesi Sekaten memiliki makna. Gamelan Sekaten yang ditabuh di alun-alun keraton misalnya, bukan sekadar hiburan, melainkan simbol ajakan mendekat kepada Allah. Suaranya mengundang masyarakat untuk datang, mendengar syiar Islam, sekaligus merasakan kebersamaan.

Perpustakaan Bayan, Sang Penjaga Ilmu di Tengah Tradisi

Di sela keramaian pasar malam dan puncak acara Grebeg Gunungan, terdapat pesan moral yang dalam, yaitu: syukur atas nikmat Allah, teladan Nabi Muhammad SAW, serta ajaran hidup rukun dalam keberagaman. Inilah yang membuat Sekaten lebih dari sekadar pesta budaya.

Sekaten di Era Modern

Zaman boleh berubah, tetapi Sekaten tetap hadir dengan warna khasnya. Ribuan orang datang, bukan hanya dari Yogyakarta dan Surakarta, melainkan juga dari luar daerah, bahkan wisatawan mancanegara.

Namun, tantangan muncul. Sebagian generasi muda lebih tertarik pada sisi hiburan ketimbang makna dakwahnya. Jika tidak ada upaya pelestarian, Sekaten bisa kehilangan ruh spiritualnya.

Karena itu, penting untuk terus menanamkan nilai moderasi beragama, toleransi, dan cinta budaya kepada generasi penerus. Dokumentasi digital, promosi wisata religi-budaya, hingga kolaborasi antara keraton, pemerintah, dan masyarakat menjadi kunci agar Sekaten tetap relevan.

Warisan yang Harus Dijaga

Sekaten adalah cermin bagaimana Islam bisa tumbuh di Jawa tanpa benturan keras dengan tradisi lokal. Ia menunjukkan bahwa dakwah bisa dilakukan dengan cara ramah, indah, dan membumi.

Lebih dari itu, Sekaten adalah identitas budaya bangsa yang harus dirawat. Ia bukan hanya milik Yogyakarta atau Surakarta, tetapi juga bagian dari khazanah peradaban Islam Nusantara yang patut dikenal dunia.

Dentum gamelan, aroma pasar malam, doa yang dipanjatkan, hingga gunungan yang diperebutkan, semua itu membentuk satu cerita besar yaitu cerita tentang Islam yang berdakwah dengan budaya, dan budaya yang hidup bersama agama.

Sekaten bukan hanya masa lalu, tetapi juga masa depan. Selama nilai dakwahnya tetap dijaga, tradisi ini akan terus menjadi cahaya yang menyinari masyarakat, dari Jawa hingga seluruh dunia.