Gedhogan, Tradisi Musik Ritmis Warisan Budaya Banyuwangi yang Memikat Hati
- https://www.tourbanyuwangi.com/tempat-wisata-banyuwangi
Budaya, VIVA Bali – Banyuwangi kini memiliki warisan budaya musik tradisional yang unik dan penuh makna, yaitu permainan Gedhogan atau Gendhongan. Tradisi ini dapat ditemukan di Padukuhan Derek, Sokasari, Kelurahan Paspan, Kecamatan Glagah, yang menjadi pusat pelestarian seni musik rakyat ini (jatimprov.go.id). Awalnya, Gedhogan merupakan aktivitas para wanita yang bertugas menumbuk padi untuk menyiapkan beras menjelang perhelatan adat. Karena pekerjaan ini melelahkan dan membosankan, para wanita tersebut mulai menyanyikan lagu-lagu sambil memainkan ritme pukulan pada alat-alat penumbuk padi, yang kemudian berkembang menjadi sebuah seni pertunjukan musik rakyat.
Gedhogan sendiri adalah batang kayu yang telah dibuat ceruk dengan ukuran panjang dan besar yang bervariasi. Pada awalnya, alat ini berfungsi sebagai alas untuk menghancurkan kulit padi agar menjadi beras, melumatkan biji jagung, atau membuat tepung dari ketela pohon. Alat penumbuk yang digunakan disebut “alu”, terbuat dari batang kayu sepanjang sekitar dua meter dengan diameter sekitar 7 cm (jatimprov.go.id). Dalam permainan Gedhogan, alat-alat tersebut berubah fungsi menjadi instrumen musik yang menghasilkan bunyi ritmis khas, diiringi dentingan logam besi hitam yang menambah warna suara.
Permainan Gedhogan dilansir dari jatimprov.go.id, biasanya dimainkan oleh enam orang wanita, empat di antaranya sudah berusia lanjut dengan kulit keriput dan mulut yang tak berhenti mengunyah sirih. Seorang wanita tua bertindak sebagai “Pengudang”, yang mengisi suasana dengan monolog penuh humor dan sindiran, memancing tawa penonton. Kadang-kadang, seorang laki-laki juga ikut serta sebagai badut atau pelawak untuk menambah hiburan.
Pimpinan kelompok, yang disebut “pantus”, memulai pola ritme pukulan tertentu tanpa perlu menyebutkan lagu yang akan dimainkan. Rekan-rekannya segera mengisi dan merespons pola tersebut, menciptakan kerja sama ritmis yang harmonis. Lagu-lagu tradisional yang sering dibawakan antara lain Erang-erang, Waru Doyong, Podo Nonton, Kosir-kosir, dan Sekarjenang, yang juga dikenal dalam seni pertunjukan lain seperti Sebiang, Gandrung, dan Angklung (indonesia.org).
Permainan ini dapat berlangsung berjam-jam dengan pergantian pola ritme dan lagu yang dinamis, sementara “Pengudang” terus menghidupkan suasana dengan dialog dan canda tawa. Gedhogan bukan hanya hiburan, tetapi juga sarana sosial dan budaya yang mengikat komunitas melalui musik dan cerita.
Namun, generasi muda kini kurang menghargai profesi pemain Gedhogan karena menganggapnya sebagai pekerjaan kasar milik buruh wanita, sehingga tradisi ini menghadapi risiko kepunahan. Untuk itu, pemerintah daerah bersama masyarakat setempat aktif mengadakan festival dan pertunjukan Gedhogan/Gendhongan sebagai upaya melestarikan dan mengangkat nilai seni musik rakyat ini (jatimprov.go.id). Gedhogan menjadi bukti kekayaan budaya Banyuwangi yang mampu menghadirkan harmoni antara kerja keras, seni, dan kebersamaan dalam sebuah tradisi yang memikat hati.