Mengintip Tradisi Mekare-kare di Tenganan Pegringsingan
- Sumber: disparda.baliprov.go.id
Gumi Bali, VIVA Bali –Bali memang terkenal dengan keindahan alam dan budayanya yang kaya. Salah satu tradisi unik yang masih lestari hingga kini adalah Mekare-kare atau Perang Pandan di Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem. Tradisi ini bukan sekadar pertarungan fisik, melainkan juga simbol penghormatan dan spiritualitas yang mendalam.
Apa Itu Mekare-kare?
Mekare-kare adalah bagian dari rangkaian upacara Usabha Sambah, yang merupakan upacara keagamaan terbesar di Desa Tenganan. Tradisi ini biasanya dilaksanakan setiap tahun pada bulan Juni, bertepatan dengan Sasih Kelima dalam kalender Bali. Dalam prosesi ini, para pria desa bertarung satu lawan satu menggunakan senjata dari daun pandan berduri dan perisai rotan. Pertarungan dilakukan secara bergiliran di depan balai pertemuan desa, mulai sekitar pukul 14.00 WITA.
Meski terlihat seperti duel, tradisi ini bukan untuk menunjukkan kekuatan atau permusuhan, melainkan sebagai bentuk persembahan kepada Dewa Indra, sang dewa perang. Setiap tetesan darah yang tertumpah dianggap sebagai pengorbanan suci yang memiliki nilai spiritual tinggi.
Makna dan Filosofi dari Mekare-kare
Mekare-kare memiliki makna simbolik yang mendalam. Selain sebagai bentuk penghormatan kepada Dewa Indra, tradisi ini juga mencerminkan nilai-nilai keberanian, kedewasaan, dan solidaritas antar warga. Menariknya, usai bertarung, para peserta tidak membawa dendam. Mereka justru saling tertawa dan berbincang, memperlihatkan bahwa persaudaraan tetap yang utama.
Darah yang keluar selama pertarungan juga dipercaya sebagai persembahan untuk leluhur. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Tenganan tidak hanya menjaga warisan budaya secara fisik, tapi juga secara spiritual.
Persiapan dan Prosesi Mekare-kare
Sebelum pelaksanaan Mekare-kare, masyarakat melakukan berbagai ritual persiapan, termasuk prosesi nyikat yang biasanya dilakukan sekitar 30 hari sebelum upacara utama. Para peserta pria akan berlatih dan menyiapkan mental mereka untuk bertarung di hadapan warga dan para leluhur.
Saat hari H, para peserta mengenakan pakaian adat khas Tenganan, yaitu kain tenun Pegringsingan, tanpa mengenakan atasan. Mereka hanya memakai kamen (sarung), saput (selendang), dan udeng (ikat kepala). Usai bertarung, luka-luka yang mereka dapatkan tidak dirawat dengan obat modern, melainkan dengan ramuan tradisional dari arak, kunyit, dan rempah lainnya.
Daya Tarik Budaya untuk Wisatawan
Mekare-kare bukan hanya menjadi kebanggaan masyarakat Tenganan, tapi juga daya tarik wisata budaya. Banyak wisatawan lokal dan mancanegara datang untuk menyaksikan langsung tradisi ini. Selain itu, mereka juga tertarik menjelajahi desa yang masih sangat autentik, lengkap dengan rumah-rumah tradisional dan kerajinan lokal.
Pemerintah daerah dan pengelola desa mendukung kehadiran wisatawan, selama mereka mengikuti aturan adat yang berlaku. Para pengunjung pun bisa mendapat penjelasan dari pemandu lokal mengenai makna tiap ritual, menjadikan pengalaman ini bukan hanya menghibur, tetapi juga edukatif.
Tradisi yang Mengajarkan Nilai Kehidupan
Di balik ketegangan pertarungan Mekare-kare, ada pelajaran hidup yang dalam. Tradisi ini mengajarkan bahwa keberanian bukan hanya soal fisik, tetapi juga tentang mengendalikan emosi, menerima luka, dan tetap menjaga kedamaian. Setelah bertarung, para peserta langsung bersalaman dan saling memeluk. Sungguh suatu pemandangan yang menyentuh dan sarat makna.
Inilah warisan budaya yang tak ternilai harganya. Bukan hanya untuk masyarakat Bali, tapi juga untuk kita semua sebagai pengingat akan pentingnya keberanian, hormat pada leluhur, dan nilai-nilai perdamaian dalam hidup bersama.