Melambung di Langit Bali, Layang-layang Tradisional Penuh Makna
- https://etnis.id/layang-layang-yang-dijaga-kelestariannya-di-bali/#:~:text=Di%20Bali%2C%20terdapat%20kisah%20mitologi,dewa%20saat%20musim%20panen%20tiba.
Gumi Bali, VIVA Bali – Layang-layang khas Bali, yang dikenal sebagai layang-layang dalam bahasa setempat, merupakan bagian penting dari budaya masyarakat pulau dewata. Tradisi menerbangkan layangan biasanya dilakukan pada musim kemarau, terutama antara bulan Juni hingga September. Selain sebagai hiburan, layang-layang juga memiliki makna spiritual dan filosofis yang mendalam, menjadikannya lebih dari sekadar permainan anak-anak.
Tiga Jenis Layangan Utama
Layang-layang tradisional Bali terbagi menjadi tiga jenis utama yang masing-masing memiliki karakter unik:
- Bebean: Berbentuk ikan, atau bebek dalam bahasa Bali, jenis ini merupakan yang paling populer dan sering terlihat menghiasi langit.
- Pecukan: Memiliki bentuk paling sederhana, tetapi justru dikenal sebagai yang paling rumit dalam proses pembuatannya.
- Janggan: Layang-layang berbentuk naga dengan ekor sangat panjang yang bisa mencapai puluhan meter. Jenis ini dianggap sakral dan terkait erat dengan kepercayaan Hindu di Bali.
Bentuk layang-layang tradisional dari dulu tidak berubah, hanya teknik pembuatannya yang berkembang. Hal ini karena masyarakat Bali menghormati apa yang telah diberikan oleh leluhur secara turun-temurun. Layang Be-bean, Pecukan, dan Janggan merupakan tiga jenis layang-layang tradisional Bali yang sudah sangat dikenal. Ada beberapa layangan asli pulau Dewata Bali, di antaranya layangan Bebean, layangan Pecukan, dan layangan Janggan.
Makna Spiritual dan Filosofis
Bagi masyarakat Bali, layang-layang tidak hanya terdiri dari rangka dan benang, melainkan dianggap memiliki tulang, tubuh, dan roh. Layang-layang Janggan, misalnya, dipercaya sebagai perwujudan dari naga Basuki—penjaga keseimbangan dunia dalam kepercayaan Hindu Bali. Kepercayaan ini menjadikan setiap proses penerbangan layang-layang sebagai bentuk komunikasi spiritual dengan alam dan para dewa.
Di Bali, terdapat kisah mitologi Rare Angon atau Dewa Layang-layang. Rare Angon dipercaya umat Hindu sebagai penjelmaan Dewa Siwa yang berperawakan anak-anak saat sedang menggembalakan kerbau di sawah. Kisah Rare Angon juga erat kaitannya dengan kehadiran dewa saat musim panen tiba. Saat itu, Rare Angon akan datang ke bumi dengan diiringi tiupan seruling yang diartikan sebagai tanda pemanggil angin. Hal ini juga dipercaya sebagai bentuk perlindungan yang diberikan dewa untuk melindungi area persawahan dari hama-hama.
Pembuatan Layang-layang Tradisional
Proses pembuatan layang-layang khas Bali dilakukan secara tradisional dengan melibatkan pembagian peran dalam komunitas. Para laki-laki umumnya bertugas membentuk kerangka dari bambu tua yang sudah diberi minyak tanah agar tahan lama, sedangkan perempuan akan membantu dalam menghias atau menempelkan kertas dan kain pada rangka tersebut.
Desain layangan bisa sederhana, tetapi pengerjaannya tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian. Warna-warna yang digunakan pun tidak sembarangan karena memiliki makna simbolis yang mendalam, seperti merah, putih, hitam, dan kuning.
Warga Bali membuat layang-layang dengan berbagai macam bentuk dan ukuran, biasanya untuk dimainkan di daerah pantai yang anginnya kencang. Bahkan, terdapat acara yang diselenggarakan setiap tahun pada bulan Juli, yaitu Festival Layang-layang Bali.
Festival Layang-layang yang Semarak
Bali memiliki festival layang-layang yang digelar secara rutin, terutama di wilayah pantai. Festival ini menjadi ajang unjuk kreativitas, keterampilan, dan pelestarian tradisi antar banjar. Berbagai jenis layangan diterbangkan, mulai dari bentuk tradisional hingga kreasi baru seperti tokoh pewayangan atau simbol-simbol budaya populer.
Festival Layang-Layang Bali adalah sebuah festival layang-layang internasional tahunan yang diadakan pada bulan Juli di daerah pantai Padang Galak, Sanur, Bali. Layang-layang tradisional raksasa—dengan lebar mencapai 4 meter dan panjang 10 meter—dibuat dan diterbangkan dalam kompetisi antara tim-tim dari banjar di Denpasar. Festival musiman ini juga memiliki pesan keagamaan, yakni sebagai media untuk mengirim pesan kepada dewa-dewa Hindu agar memberikan hasil pertanian yang melimpah.
Warisan yang Terus Dijaga
Layang-layang yang dijaga kelestariannya di Bali menjadi bukti nyata keunikan dan kekayaan tradisi daerah. Di beberapa desa seperti Sedang, Badung, semarak musim layang-layang terasa sangat hidup. Anak-anak bermain sambil belajar dari orang tua mereka, sementara para pemuda membentuk kelompok layangan yang aktif berlatih dan bertanding.
Tradisi ini menunjukkan bahwa layang-layang Bali bukan hanya tentang keindahan visual di langit, melainkan juga tentang makna, kolaborasi, spiritualitas, dan kebanggaan terhadap budaya sendiri.