5 Pantangan di Pura Bali, Konon Bisa Bikin Sial

Gunakan selalu sarung saat memasuki area pura di Bali.
Sumber :
  • https://www.pexels.com/photo/unrecognizable-person-standing-in-lempuyang-temple-4553367/

Gumi Bali, VIVA Bali – Pura bukan hanya sekadar destinasi wisata dengan arsitektur yang megah dan fotogenik. Bagi masyarakat Bali, pura adalah tempat suci, pusat kegiatan spiritual, dan representasi dari hubungan sakral antara manusia, alam, dan Sang Hyang Widhi Wasa. Karena kesuciannya inilah, ada serangkaian etika dan aturan tak tertulis yang harus ditaati oleh siapa pun yang memasukinya.

Upacara Otonan di Bali Sebagai Wujud Syukur dan Penyucian Diri

Bagi wisatawan, memahami aturan ini bukan hanya soal menghormati budaya Bali, tetapi juga tentang menjaga keselarasan dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Beberapa pantangan bahkan dipercaya oleh masyarakat setempat dapat mendatangkan energi negatif atau "sial" jika dilanggar dengan sengaja. Ini bukanlah untuk menakut-nakuti, melainkan sebuah bentuk kearifan lokal untuk menjaga kesucian tempat ibadah.

Berdasarkan berbagai sumber kredibel, termasuk pedoman resmi pemerintah dan panduan budaya internasional, berikut adalah lima pantangan utama yang sebaiknya tidak Anda lakukan saat berkunjung ke pura di Bali demi kenyamanan dan penghormatan bersama.

1. Memasuki Pura Saat Sedang Cuntaka atau Menstruasi

Bija Bali, Benih Kesucian dalam Ritual Hindu

Ini adalah pantangan paling fundamental dan wajib diketahui. Menurut Pedoman Teknis Pelindungan Pura dari Pemerintah Provinsi Bali, seseorang yang sedang dalam keadaan cuntaka dilarang keras memasuki area suci pura. Cuntaka adalah kondisi tidak suci secara spiritual yang disebabkan oleh kedukaan, misalnya jika ada anggota keluarga inti yang baru saja meninggal dunia.

Aturan yang sama berlaku bagi perempuan yang sedang dalam masa menstruasi. Dalam kepercayaan Hindu Bali, darah (baik dari luka maupun menstruasi) dianggap sebagai sesuatu yang leteh atau kotor secara spiritual, yang dapat mengganggu dan mengurangi tingkat kesucian sebuah pura. Larangan ini sama sekali bukan bentuk diskriminasi, melainkan murni didasarkan pada konsep menjaga kemurnian energi di tempat suci.

2. Berpakaian Tidak Sopan atau Terbuka

Menguatkan Hubungan Spiritual Melalui Tradisi Tumpek Kandang di Bali

Memasuki pura dengan pakaian minim seperti celana pendek di atas lutut, rok mini, atau atasan tanpa lengan adalah tindakan yang dianggap tidak sopan. Menurut panduan wisata internasional seperti Lonely Planet, etika dasar saat mengunjungi tempat suci mana pun di Bali adalah mengenakan pakaian yang menutupi bahu dan kaki.

Pengunjung diwajibkan mengenakan busana adat ke pura. Minimal, ini terdiri dari sarung (kamen) yang dililitkan di pinggang hingga menutupi kaki, dan sebuah selendang (senteng) yang diikatkan di pinggang. Sebagian besar pura besar biasanya menyediakan tempat penyewaan sarung dan selendang di dekat pintu masuk bagi wisatawan yang tidak membawanya. Ini adalah simbol penghormatan paling dasar kepada tempat dan tradisi.

3. Mengucapkan Kata-kata Kasar dan Berperilaku Buruk

Pura adalah tempat untuk beribadah, menenangkan diri, dan mencari kedamaian. Oleh karena itu, menjaga sikap dan ucapan adalah sebuah keharusan. Berteriak, tertawa terbahak-bahak, mengucapkan kata-kata kotor, bertengkar, atau menunjukkan kemesraan yang berlebihan di dalam area pura dianggap sebagai tindakan yang sangat tidak menghormati.

Dalam naskah kuno Lontar Kramapura, yang menjadi salah satu rujukan etika di tempat suci, disebutkan bahwa kesucian pikiran, perkataan, dan perbuatan (Tri Kaya Parisudha) harus selalu dijaga. Perkataan dan perilaku yang tidak terkendali dipercaya dapat "mengotori" energi suci pura dan mengganggu kekhusyukan umat yang sedang beribadah.

4. Menaiki Bangunan Suci atau Duduk di Tempat yang Salah

Banyak bangunan di dalam pura, seperti pelinggih atau palinggih (bangunan suci tempat menaruh sesajen), yang memiliki nilai sakral sangat tinggi. Menaiki bangunan-bangunan ini untuk tujuan berfoto atau sekadar iseng adalah sebuah pantangan besar dan absolut. Ini dianggap sebagai tindakan pelecehan terhadap "stana" atau singgasana para dewa dan leluhur.

Selain itu, posisi tubuh juga perlu diperhatikan. Hindari duduk di tempat yang lebih tinggi dari posisi pendeta yang sedang memimpin upacara atau lebih tinggi dari sesajen yang sedang dihaturkan. Ini adalah bagian dari etika di pura untuk menunjukkan kerendahan hati.

5. Mengganggu Prosesi Upacara dan Menggunakan Lampu Kilat

Jika Anda beruntung mengunjungi pura saat sedang ada upacara keagamaan, anggaplah itu sebagai sebuah kehormatan. Namun, penting untuk menjadi pengamat yang menghormati, bukan pengganggu. Jangan pernah berjalan di depan orang yang sedang berdoa, memotong jalur persembahyangan, atau berdiri di tengah-tengah prosesi untuk mengambil gambar.

Menggunakan lampu kilat (flash) kamera juga sangat tidak dianjurkan, terutama jika diarahkan pada wajah pendeta atau umat yang sedang bersembahyang. Cahaya yang tiba-tiba muncul dianggap dapat mengganggu kekhusyukan dan konsentrasi mereka dalam beribadah.

Dengan memahami dan mengikuti pantangan ini, kunjungan Anda ke pura tidak hanya akan menjadi pengalaman wisata yang indah, tetapi juga sebuah interaksi budaya yang penuh makna dan rasa hormat.