"Bali Seolah Diam!" Inilah Makna dan Keunikan Galungan & Kuningan yang Tak Banyak Diketahui!
- https://www.flickr.com/photos/10873597
Budaya, VIVA Bali –Bali dikenal dunia karena keindahan alam dan budaya spiritualnya. Namun, ada masa-masa tertentu di mana nuansa magis terasa sangat kuat dan nyaris menghentikan denyut aktivitas harian di Pulau Dewata. Salah satu momen paling sakral itu adalah Hari Raya Galungan dan Kuningan, dua perayaan penting bagi umat Hindu Bali yang menyiratkan pesan spiritual, kekeluargaan, dan kemenangan nilai-nilai kebaikan.
Galungan adalah hari besar keagamaan umat Hindu yang memperingati kemenangan Dharma (kebenaran) atas Adharma (kejahatan). Perayaan ini jatuh setiap 210 hari sekali, mengikuti kalender Bali atau Pawukon. Menurut kepercayaan Hindu Bali, pada hari Galungan, roh leluhur turun ke bumi untuk mengunjungi keluarga mereka, dan umat Hindu akan menyambutnya dengan doa, sesajen, dan ritual keagamaan.
Kuningan, yang jatuh 10 hari setelah Galungan, menandai kembalinya roh leluhur ke alam spiritual. Pada hari ini, umat mengucapkan terima kasih dan doa keselamatan, serta mempersembahkan sesajen kuning yang melambangkan kemakmuran, kesucian, dan rasa syukur.
Berdasarkan penanggalan Bali Wuku Dungulan, Hari Raya Galungan dan Kuningan pada tahun 2025 jatuh pada Rabu, 5 Maret 2025 dan Sabtu, 15 Maret 2025.
Tanggal ini dirayakan serentak oleh umat Hindu di seluruh Bali dan beberapa daerah di Indonesia yang menganut agama Hindu.
Perayaan Galungan tidak berdiri sendiri, tetapi terdiri dari serangkaian ritual yang dimulai jauh sebelum hari puncak, seperti berikut:
1. Sugihan Jawa (6 hari sebelum Galungan) merupakan hari untuk menyucikan alam semesta.
2. Sugihan Bali (5 hari sebelum Galungan) merupakan hari penyucian diri pribadi.
3. Penyekeban (3 hari sebelum Galungan) merupakan simbol pengekangan hawa nafsu.
4. Pengerupukan (1 hari sebelum Galungan), dilakukan pengusiran roh jahat menggunakan api, bunyi-bunyian, dan ogoh-ogoh kecil.
5. Hari Raya Galungan, yaitu hari utama di mana umat sembahyang di pura keluarga dan desa.
6. Manis Galungan, sehari setelah Galungan merupakan waktu untuk bersilaturahmi antarkeluarga.
7. Hari Kuningan, yaitu ritual pamitan kepada roh leluhur, ditandai dengan persembahan berwarna kuning seperti nasi kuning dan tamiang.
Saat Galungan tiba, jalanan di Bali dipenuhi penjor bambu tinggi yang dihias janur, buah-buahan, dan hasil bumi. Penjor bukan sekadar dekorasi, melainkan simbol Gunung Agung, pusat spiritual umat Hindu dan lambang kemakmuran. Di balik setiap hiasannya terdapat makna filosofis, yaitu janur (keikhlasan), buah-buahan (kemakmuran), dan kain (kesucian).
Di desa-desa, Barong Ngelawang atau ritual keliling desa menggunakan topeng barong masih dilestarikan. Anak-anak mengikuti arak-arakan untuk memohon keselamatan dan mengusir roh jahat.
Selain sebagai momentum spiritual, Galungan dan Kuningan memperkuat ikatan sosial antarwarga Bali mulai dari membuat penjor hingga memasak lawar dan satay, semuanya dilakukan bersama keluarga dan tetangga. Tradisi metempekan atau saling mengunjungi dan memberi salam antar kerabat. Serta, kegiatan ngejot, yaitu membagikan makanan kepada tetangga non-Hindu, adalah wujud nyata toleransi antaragama di Bali.
Hari Raya Galungan dan Kuningan lebih dari sekadar tradisi. Ini adalah refleksi mendalam tentang nilai kehidupan, spiritualitas, dan kebersamaan. Di tengah dunia yang makin sibuk dan materialistik, perayaan ini mengingatkan pentingnya kembali ke akar, menjaga hubungan dengan leluhur, dan tetap berada di jalan yang benar.