Ritual Ngelukat dan Air Mata, Ketika Banyuwangi Ethno Carnival Jadi Simbol Ketabahan
- Dok. Pemkab Banyuwangi/ VIVA Banyuwangi
Banyuwangi, VIVA Bali –Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) 2025, salah satu mahakarya budaya dan pariwisata Indonesia, kembali menyapa publik pada Sabtu (12/7). Acara yang telah lama dinantikan ini, yang juga merupakan bagian tak terpisahkan dari kalender pariwisata nasional Kharisma Event Nusantara (KEN), dibuka dengan nuansa yang berbeda tahun ini.
Di tengah gemerlap parade kostum budaya yang biasanya penuh kegembiraan, terselip sebuah momen hening dan doa tulus. Penghormatan mendalam diberikan kepada para korban tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali, sebelas hari sebelum perhelatan akbar ini dimulai.
Sebuah pembukaan yang menunjukkan bahwa di balik indahnya seni, ada hati nurani masyarakat yang berempati, menjadikan BEC tahun ini lebih dari sekadar tontonan, melainkan sebuah simbol persatuan dalam duka.
Suasana haru begitu terasa saat ribuan penonton, tamu undangan, hingga seluruh panitia BEC 2025 serentak mengenakan busana dominan hitam. Bukan tanpa alasan, pilihan busana ini menjadi representasi nyata dari duka cita mendalam yang dirasakan oleh seluruh masyarakat Banyuwangi atas musibah yang menimpa KMP Tunu Pratama Jaya.
Ini adalah wujud solidaritas yang kuat, menunjukkan bahwa meskipun perayaan digelar, kepedulian terhadap sesama tetap menjadi prioritas utama.
Momen paling menyentuh terjadi saat Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, mengajak seluruh hadirin untuk menundukkan kepala sejenak.
"Sebelum memulai sambutan, saya mengajak, mari kita tundukkan kepala sejenak untuk mengirimkan doa dan rasa bela sungkawa kepada para masyarakat yang terkena musibah tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya," ucap Bupati Ipuk dengan suara penuh empati.