Kafe Tuak Tuai Polemik, Ketua ISNWDI Serukan Klarifikasi

Syaiful Akhyar saat memberikan pernyataan resmi terkait
Sumber :
  • Moh Helmi/ VIVA Bali

Lombok Barat, VIVA Bali –Pernyataan kontroversial dari seorang pemilik kafe tuak di Suranadi yang menyebut minuman tuak sebagai bagian dari identitas budaya masyarakat setempat menuai kecaman luas. Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (ISNWDI) Lombok Barat, Syaiful Akhyar, mengecam keras pernyataan tersebut dan menilainya sebagai bentuk generalisasi yang menyesatkan.

Pendapatan Daerah Jadi Sorotan, Pemkab Lobar Siap Genjot Retribusi dan Pajak

 

“Pernyataan itu sangat disayangkan. Tidak bisa dipandang bahwa semua warga Suranadi menjadikan tuak sebagai identitas budaya hanya karena sebagian kecil dari masyarakat mengonsumsinya,” tegas Syaiful kepada Bali.viva.co.id, Senin, 7 Juli 2025.

Satresnarkoba Polres Lobar Bekuk Pelaku Jaringan Sabu di Lembar

 

Ia menilai klaim tersebut telah mencoreng keragaman nilai dan keyakinan yang ada di Suranadi. “Budaya itu menyangkut nilai, moral, adat, hukum, dan tujuan rohani. Apa relevansinya tuak dengan kepercayaan dan moral suatu masyarakat?” tandasnya

Tender SPAM Lombok Barat Diusut, KUAT NTB Laporkan Kejanggalan ke Polisi

 

Syaiful menekankan bahwa masyarakat Suranadi merupakan komunitas heterogen yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan sosial. “Kita di sini hidup berdampingan, baik Muslim Sasak maupun masyarakat Hindu. Kalau tuak disebut sebagai identitas bersama, itu jelas menyesatkan dan bahkan bisa dianggap sebagai penghinaan,” ujarnya.

 

Dengan nada geram, ia juga mengungkapkan bahwa pemilik kafe tersebut bukan warga asli Suranadi. “Yang bersangkutan bukan orang sini, tapi dengan enteng mengklaim budaya kami. Itu menyakitkan,” ucap Syaiful.

 

Atas hal tersebut, Syaiful mendesak agar pernyataan itu segera dicabut dan disertai dengan permintaan maaf secara terbuka kepada masyarakat Suranadi. “Ini bukan soal kebiasaan pribadi, ini menyangkut martabat masyarakat,” tegasnya lagi.

 

Selain itu, Syaiful juga menyoroti keberadaan kafe-kafe ilegal di wilayah Suranadi yang menurutnya telah menimbulkan keresahan. “Hingar-bingar musik sampai dini hari, aktivitas mencurigakan, serta kos-kosan liar sangat mengganggu masyarakat. Apalagi lokasi itu dekat dengan pondok pesantren dan madrasah,” jelasnya.

 

Ia juga mengutip laporan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Lombok Barat. “Suranadi disebut sebagai salah satu penyumbang tertinggi kasus HIV/AIDS. Ini tidak bisa dianggap enteng,” ujarnya prihatin.

 

Terkait argumen bahwa kafe tuak menjadi daya tarik wisata, Syaiful yang merupakan mantan praktisi pariwisata membantah keras. “Saya belasan tahun bergelut di dunia pariwisata. Tidak pernah ada tamu, apalagi wisatawan mancanegara, yang minta diantar ke kafe tuak. Mereka justru menghindari tempat seperti itu,” tegasnya.