Sebambangan, Makna Di Balik Tradisi Kawin Lari Dalam Adat Lampung

Tradisi Sebambangan, Kawin Lari Khas Lampung
Sumber :
  • https://www.tokopedia.com/blog/pernikahan-adat-lampung-rlt/?utm_source=google&utm_medium=organic

Budaya, VIVA Bali – Tradisi kawin lari atau Sebambangan dalam adat Lampung seringkali disalahpahami sebagai tindakan nekat pasangan muda yang melarikan diri tanpa restu keluarga. Padahal, praktik budaya ini memiliki makna mendalam dan aturan adat yang ketat. Dalam masyarakat Lampung, Sebambangan dipandang sebagai jalan alternatif bagi pasangan yang ingin menikah tanpa harus melewati proses lamaran formal yang panjang dan biaya tinggi, tetapi tetap dalam bingkai adat dan hukum Islam.

Asal Usul Dan Filosofi

Filosofi Tari Serimpi, Simbol Keanggunan Perempuan Jawa

Sebambangan berasal dari kata bambang, yang berarti pergi atau melarikan diri. Namun, dalam adat Lampung, lari yang dimaksud bukanlah kabur sembarangan. Gadis (muli) dan pria (mekhanai) yang sepakat menjalani Sebambangan melakukannya atas dasar cinta, kesepakatan, dan tekad untuk menikah. Untuk menghindari kesalahpahaman, sang gadis biasanya meninggalkan surat dan sejumlah uang (tengepik) sebagai tanda bahwa kepergiannya adalah kehendak pribadi, bukan karena paksaan.

Filosofi yang terkandung dalam tradisi ini adalah menjaga marwah keluarga, meminimalisir konflik, sekaligus menjadi jalan tengah bagi pasangan yang terhalang restu atau biaya adat. Meski disebut “kawin lari,” hakikatnya Sebambangan tetap bertujuan mewujudkan pernikahan yang sah, baik menurut agama maupun adat.

Tahapan Prosesi

Kain Tenun Endek, Warisan Budaya Kreatif Masyarakat Bali

Tradisi Sebambangan di Lampung berlangsung dalam beberapa tahap penting:

  1. Tengepik – gadis meninggalkan tanda berupa surat dan uang agar keluarga mengetahui ia pergi atas kemauan sendiri.

  2. Ngattak Salah – pihak pria mengutus kerabat bersenjata simbolis untuk memberitahukan keberadaan gadis kepada kepala adat.

  3. Bepadau atau Bebalah – pihak pria memohon musyawarah dengan keluarga gadis untuk mencari kesepakatan dan restu.

  4. Manjau Mengiyan dan Sujud – rombongan pria datang, melakukan sungkem, dan memohon pengakuan keluarga besar.

  5. Peggadew Rasan dan Cuak Mengan – akad nikah dilangsungkan, diikuti jamuan adat sebagai penegasan bahwa pernikahan telah sah.

Setiap tahap menunjukkan bahwa Sebambangan bukan tindakan sepihak, melainkan proses adat yang mengedepankan musyawarah dan penghormatan kepada kedua keluarga.

Nilai Sosial Dan Adat

Makam Batu Berongga Kotak, Tradisi Waruga Pemakaman Unik Suku Minahasa

Tradisi Sebambangan mengandung nilai sosial yang tinggi. Pertama, ia melibatkan komunitas adat sehingga keputusan tidak hanya menjadi urusan pribadi, melainkan juga kehormatan bersama. Kedua, prosesi ini memperkuat solidaritas masyarakat karena mengajarkan penyelesaian masalah melalui dialog. Ketiga, dalam adat Lampung, Sebambangan sering menjadi jalan keluar bagi pasangan yang ingin menikah tanpa membebani keluarga dengan biaya adat yang besar.

Di sisi hukum, tradisi ini juga sejalan dengan syariat Islam. Selama dilakukan atas dasar persetujuan kedua belah pihak, Sebambangan tidak dianggap melanggar hukum negara maupun agama. Justru, ia dipandang sebagai salah satu bentuk kearifan lokal yang berhasil menjaga kehormatan dan hak pasangan muda.

Relevansi Masa Kini

Di tengah modernisasi, sebagian masyarakat muda Lampung masih mempertahankan tradisi ini sebagai warisan leluhur. Meski tantangan sosial dan persepsi publik kerap muncul, Sebambangan tetap dianggap sebagai identitas budaya yang membedakan masyarakat Lampung dari daerah lain.

Tradisi ini juga menjadi cermin bagaimana adat mampu beradaptasi dengan zaman, namun tetap menjaga nilai-nilai fundamental: cinta yang tulus, persetujuan, musyawarah, dan penghormatan antar keluarga.

Makna besar dari Sebambangan bukan sekadar “lari,” melainkan sebuah perjalanan menuju pernikahan yang sah dan bermartabat.