Sanghyang Dedari Tari Sakral Penolak Bala Warisan Budaya Bali

gadis Bali Kebaya Putih
Sumber :
  • https://www.vecteezy.com/photo/68679274-young-girl-praying-at-temple-in-bali-ceremony-with-offerings-in-background

Budaya, VIVA BaliDi balik pesona pantai dan panorama alam Nusa Penida, tersimpan sebuah tradisi sakral yang jarang dikenal wisatawan, yakni Tari Sanghyang Dedari. Tarian kuno ini telah diwariskan turun-temurun sejak era pra-Hindu dan memiliki fungsi berbeda dari tari Bali pada umumnya. Jika kebanyakan tarian dipentaskan sebagai hiburan, Sanghyang Dedari justru berfungsi sebagai ritual spiritual penolak bala, bentuk komunikasi masyarakat dengan alam gaib untuk mengusir marabahaya, termasuk wabah penyakit.

Cakalele, Getaran Jiwa Maluku dari Masa ke Masa

Keistimewaan Sanghyang Dedari terletak pada penarinya. Tarian ini dibawakan oleh gadis-gadis kecil yang belum balig, karena mereka dipercaya masih suci sehingga lebih mudah menjadi medium roh dedari atau bidadari kahyangan. Biasanya dimainkan oleh dua hingga empat penari, dengan busana putih sederhana yang melambangkan kesucian. Sebelum menari, mereka duduk bersimpuh di tempat suci sambil diiringi lantunan kidung dan mantra. Pada saat tertentu, para penari akan roboh sebagai tanda hilangnya kesadaran, lalu bergerak menari anggun tanpa sepenuhnya mereka sadari. Dalam kondisi inilah diyakini roh dedari merasuki tubuh mereka.

Ritual Sanghyang Dedari umumnya digelar ketika desa dilanda wabah atau diyakini sedang terancam bahaya. Para penari kemudian diarak berkeliling desa, diiringi tembang pemujaan dan doa, untuk mengusir energi buruk sekaligus memohon perlindungan. Unsur sakral semakin terasa dengan hadirnya tiga elemen penting, api atau asap sebagai simbol pemurnian, gending Sanghyang sebagai nyanyian suci, dan penari sebagai medium roh. Pada puncaknya, prosesi ditutup dengan penyiraman air suci serta pembagian bunga kepada warga, yang dipercaya membawa keselamatan dan berkah bagi seluruh desa.

Sejarah dan Filosofi Tari Piring dari Minangkabau

Pada 2 Desember 2015, Sanghyang Dedari ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia dalam kategori Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity. Namun, seiring dengan pesatnya perkembangan pariwisata, wujud pertunjukan Sanghyang Dedari di beberapa tempat mulai mengalami pergeseran makna. Misalnya di Puri Saren Ubud, tarian ini ditampilkan secara rutin sebagai hiburan untuk wisatawan. Pertunjukan semacam ini memang bermanfaat untuk memperkenalkan seni tradisi Bali kepada dunia, tetapi pada saat yang sama juga membuat nilai kesakralan ritualnya perlahan memudar, karena dipentaskan lebih untuk kepentingan tontonan daripada untuk tujuan spiritual sebagaimana asal mulanya.

Meski demikian, versi sakral Sanghyang Dedari masih tetap dijaga di Desa Adat Geriana Kauh. Di desa ini, tarian hanya digelar pada momen tertentu, biasanya saat padi mulai berbuah, sebagai bentuk doa agar tanaman terhindar dari malapetaka dan hasil panen melimpah. Tradisi tersebut dijalankan dengan khidmat, tetap berpegang pada nilai-nilai religius, serta melibatkan seluruh warga desa dalam suasana spiritual yang kental. Kehadiran Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha di desa ini juga menjadi bukti keseriusan masyarakat setempat dalam mendokumentasikan sekaligus mewariskan pengetahuan tentang tarian sakral ini kepada generasi berikutnya.

Reog Kendang Tulungagung, Warisan Seni yang Tetap Hidup

Sementara itu, Nusa Penida menjadi pusat perhatian dalam upaya pelestarian Sanghyang Dedari. Tarian ini telah diajukan menjadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, sebuah langkah penting untuk memastikan tradisi leluhur tetap terlindungi dari arus modernisasi. Dengan pengakuan nasional maupun internasional, Sanghyang Dedari dari Nusa Penida tidak hanya menjadi ritual sakral penolak bala, tetapi juga simbol kuat keteguhan masyarakat Bali dalam menjaga warisan spiritual mereka agar tetap hidup di tengah zaman yang terus berubah.