Kenapa Perempuan Hebat Masih Gagal Punya Semuanya di Era Modern?

Poster Why Women Still Can’t Have It All
Sumber :
  • Sumber: https://www.theatlantic.com/magazine/archive/2012/07/why-women-still-cant-have-it-all/309020/

Lifestyle, VIVA BaliMeski sudah jadi CEO, menteri, bahkan pemimpin negara, mengapa perempuan masih sulit menyeimbangkan karier dan keluarga? Jawabannya tidak sesederhana 'kurang ambisius'.

Lombok Barat Hidupkan Tradisi, Keris Lombok Bewaran Jadi Magnet Budaya

Pada tahun 2012, dunia dikejutkan oleh sebuah tulisan fenomenal yang memicu debat global tentang feminisme modern. Artikel itu berjudul “Why Women Still Can’t Have It All” dan ditulis oleh Anne-Marie Slaughter, seorang profesor, ibu, dan mantan pejabat tinggi di pemerintahan Barack Obama.

Tulisannya menjadi semacam “pengakuan jujur” dari seorang perempuan berprestasi yang selama ini dianggap sudah mencapai segalanya, seperti jabatan tinggi, keluarga harmonis, dan pengakuan publik. Tapi kenyataannya, semua itu datang dengan harga mahal yang jarang dibicarakan, yaitu kehilangan waktu bersama anak, tekanan karier tanpa ampun, dan sistem kerja yang tidak ramah keluarga.

Tak Berkutik, 2 Pelaku Curanmor Asal Sekotong Diringkus Polisi

Istilah “having it all” merujuk pada gagasan bahwa perempuan modern bisa meraih sukses karier sekaligus membina keluarga yang utuh dan bahagia. Gagasan ini populer sejak era feminisme gelombang kedua dan terus dipromosikan oleh budaya pop, politisi, dan korporasi. Tapi Slaughter menyatakan bahwa ide ini menyesatkan dan menimbulkan tekanan yang tidak realistis pada perempuan.

“Kita tidak akan pernah benar-benar meraih kesetaraan jika sistem kerja dan nilai-nilai masyarakat tidak berubah.” — Anne-Marie Slaughter

Beragam Tumpeng Hasil Pertanian Disuguhkan di Tradisi Takir Sewu Banyuwangi

Dalam artikelnya, Slaughter menjelaskan:

1.     Mengapa ia meninggalkan jabatan strategis di Departemen Luar Negeri AS demi keluarganya.

2.     Bagaimana perasaan bersalah dan stigma sosial membuat keputusan itu terasa seperti “kegagalan”.

3.     Betapa sistem profesional saat ini dibentuk oleh norma laki-laki dan tidak memperhitungkan peran pengasuhan yang umumnya masih dibebankan pada perempuan.

Ia juga mengkritik narasi feminisme korporat seperti Lean In dari Sheryl Sandberg, yang menurutnya masih menyalahkan perempuan karena “kurang percaya diri” atau “tidak cukup ambisius”, padahal persoalannya terletak pada struktur kerja yang tidak fleksibel dan budaya kerja yang menuntut totalitas.

 

5 Hambatan Utama Kenapa Perempuan Masih Sulit Punya Semuanya

1.     Jam kerja yang toxic, sistem 9-to-5 (bahkan lebih) menyulitkan ibu bekerja untuk mengurus anak atau merawat keluarga. Banyak posisi puncak masih mengharuskan komitmen waktu yang ekstrem.

2.     Stigma sosial terhadap perempuan yang memilih keluarga dianggap “mundur” atau “tidak ambisius” jika memilih cuti panjang atau menolak promosi demi anak.

3.     Minimnya dukungan kebijakan publik, banyak negara, termasuk negara maju, masih memiliki sistem cuti melahirkan dan penitipan anak yang sangat minim atau mahal.

4.     Peran ganda perempuan di rumah tangga, meski perempuan bekerja, pekerjaan domestik dan pengasuhan masih dominan menjadi tanggung jawab mereka.

5.     Kurangnya representasi dalam pengambilan kebijakan, dengan banyaknya  kebijakan yang dibuat oleh laki-laki yang tidak mengalami langsung dilema antara karier dan keluarga.

Solusi Menurut Slaughterm, Bukan Perempuannya yang Harus Berubah, Tapi Sistemnya

1.     Fleksibilitas kerja bukan insentif, tapi kebutuhan

Sistem kerja hybrid, remote, atau jam kerja alternatif harus menjadi standar, bukan pengecualian.

2.     Perubahan nilai sosial

Masyarakat harus berhenti memandang peran sebagai ibu sebagai hambatan karier.

3.     Cuti ayah wajib

Agar pengasuhan tak hanya dibebankan kepada ibu.

4.     Subsidi layanan penitipan anak

Agar keluarga tidak harus memilih antara penghasilan dan pengasuhan.

5.     Penghargaan terhadap kerja nonformal

Mengasuh anak atau merawat orang tua adalah kerja nyata dan bernilai ekonomi, tapi sering diabaikan.

Mitos bahwa perempuan bisa memiliki segalanya dalam sistem yang tidak adil hanya menambah beban dan rasa bersalah. Slaughter tidak menyerukan agar perempuan menyerah, tapi agar masyarakat mulai jujur terhadap tantangan struktural dan mulai menciptakan perubahan nyata.