Ilusi Otak Ini Bikin Kamu Ngerasa Dunia Berkonspirasi, Padahal Enggak!

Ketika Otakmu Membuatmu Percaya Dunia Sedang Memberi Tanda
Sumber :
  • https://pixabay.com/illustrations/brain-human-anatomy-anatomy-human-1787622/

Lifestyle, VIVA Bali – Pernah nggak sih kamu merasa seperti dunia sedang menyodorkan satu hal berkali-kali, seolah ada pesan tersembunyi dari semesta? Misalnya, kamu baru dengar istilah “healing inner child”, lalu seolah-olah topik itu muncul terus: di media sosial, podcast, bahkan di obrolan warung kopi. Rasanya seperti seluruh alam bersatu menunjukkan “petunjuk” padamu. Tapi sebenarnya, bukan semesta yang berkonspirasi—melainkan otakmu sendiri yang sedang bermain ilusi. Nama fenomena ini adalah Baader‑Meinhof phenomenon, atau yang dalam dunia psikologi dikenal sebagai frequency illusion.

Sepatu Nyaman untuk Jalan Kaki Jauh

Fenomena ini pertama kali mendapatkan namanya secara populer dari seorang pembaca di St. Paul Pioneer Press, Amerika Serikat, pada tahun 1994. Ia menulis surat pembaca tentang bagaimana ia mendengar nama kelompok radikal Jerman “Baader-Meinhof” dua kali dalam waktu singkat, padahal sebelumnya tidak pernah sama sekali. Istilah ini kemudian digunakan untuk menggambarkan kecenderungan otak kita untuk "melihat" sesuatu lebih sering setelah kita baru mengenalnya.

Secara akademis, konsep ini diperkuat oleh Arnold Zwicky, profesor linguistik dari Stanford University. Dalam artikelnya berjudul "Why are we so illuded?", yang dipublikasikan di Stanford.edu, Zwicky menjelaskan bahwa fenomena ini muncul karena dua mekanisme utama: selective attention (perhatian selektif) dan confirmation bias (bias konfirmasi). Setelah otak kita menyadari atau mempelajari sesuatu, ia mulai menyaring dan menyorot informasi yang berkaitan dengan hal itu, sambil mengabaikan informasi yang tidak sesuai. Akibatnya, kita merasa bahwa hal tersebut tiba-tiba ada di mana-mana, padahal sebenarnya tidak ada peningkatan frekuensi yang nyata.

Terungkap! Ini Alasan Pembalap MotoGP Menurunkan Lutut Saat Menikung

Misalnya, kamu baru saja mengetahui jenis kopi yang sedang naik daun seperti "Liberica", dan setelah itu kamu merasa mendadak melihat nama kopi itu di mana-mana—padahal mungkin sebelumnya kamu hanya tidak memperhatikannya. Otakmu menyorot informasi itu karena dianggap penting, dan mulai mengabaikan yang lain. Fenomena ini menjadi semacam filter internal yang memperkuat persepsi kita terhadap sesuatu yang “baru”, seakan-akan dunia menyuguhkannya secara masif.

Fenomena ini pun dijelaskan lebih lanjut dalam artikel ilmiah berjudul “The Baader-Meinhof Phenomenon: When the Noticed Becomes Seemingly Unavoidable” yang ditulis oleh Sara Janković dan dipublikasikan di Associazione Psicologi Europe. Dalam tulisannya, Faggiano menekankan bahwa frequency illusion adalah hasil langsung dari bias persepsi manusia. Ia menyatakan bahwa persepsi tidak selalu berdasarkan kenyataan obyektif, melainkan sangat ditentukan oleh fokus perhatian dan pengalaman emosional seseorang.

Pancake Kentang Buatan Rumah Yang Bikin Pagi Makin Hangat

Dalam kehidupan sehari-hari, contoh frequency illusion ini sangat banyak. Ketika kamu sedang mempertimbangkan membeli sepatu warna tertentu, lalu kamu merasa sepatu itu mulai “muncul di mana-mana”. Atau saat kamu tahu tentang suatu istilah psikologi seperti “gaslighting”, lalu mulai merasa semua orang membicarakannya, bahkan di tempat yang tak terduga. Nyatanya, istilah atau benda itu sudah ada di sekitarmu selama ini—kamu saja yang baru sadar.

Fenomena ini semakin kompleks di era digital, terutama karena keterlibatan algoritma media sosial. Saat kamu menonton satu video tentang teori konspirasi atau diet tertentu, sistem algoritma langsung merekomendasikan konten sejenis. Akibatnya, kamu merasa semua orang sedang membahas hal yang sama, padahal itu hanya karena ruang digitalmu dipersempit oleh filter algoritma.

Algoritma digital mengeksploitasi kecenderungan otak ini demi meningkatkan keterlibatan pengguna. Dengan mengulang konten yang mirip, sistem menciptakan ilusi bahwa topik tertentu sedang dominan, meskipun kenyataannya belum tentu seperti itu di dunia nyata.

Ilusi ini tidak hanya menipu individu, tetapi juga berpotensi mempengaruhi keputusan besar. Misalnya dalam bisnis, seseorang bisa salah menilai tren pasar hanya karena merasa suatu produk sering muncul di linimasa digital. Atau dalam hubungan sosial, seseorang bisa merasa satu isu sosial sangat krusial hanya karena melihatnya berulang-ulang dalam waktu singkat, padahal dampaknya belum tentu sebesar itu.

Lalu, bagaimana kita menyadari bahwa kita sedang terjebak dalam frequency illusion? Langkah pertama adalah mengakui bahwa otak manusia bekerja dengan cara yang bias—dan itu normal. Langkah kedua, penting untuk memverifikasi persepsi dengan data obyektif. Jangan langsung percaya bahwa sesuatu sedang viral hanya karena kamu sering melihatnya. Bandingkan dengan tren aktual dari sumber yang valid. Langkah ketiga adalah melatih kesadaran diri melalui mindfulness. Praktik ini membantu kita mengenali pikiran yang muncul tanpa langsung mempercayainya begitu saja, memberi ruang untuk mempertimbangkan kemungkinan lain sebelum menarik kesimpulan.

Dengan menyadari cara kerja otak dalam membentuk ilusi frekuensi ini, kita bisa menjadi lebih objektif dan bijak dalam menilai informasi yang datang. Dunia tidak sedang berkonspirasi memperlihatkan hal yang sama berulang-ulang—itu hanya otakmu yang sedang memilih-milih informasi yang terasa relevan. Dan seperti banyak hal dalam psikologi, semakin kita mengenal cara kerja pikiran, semakin kita bisa berdamai dengannya.