Kumpulan Puisi Chairil Anwar yang Cocok untuk Lomba Puisi Agustusan

Ilustrasi Puisi untuk Lomba Agustusan
Sumber :
  • https://www.freepik.com/free-photo/top-view-love-letters-arrangement_60249524.htm

Lifestyle, VIVA Bali – Setiap bulan Agustus, semangat nasionalisme mengalir lebih deras dari biasanya. Bendera merah putih berkibar di setiap sudut negeri, dan suara pembacaan puisi menggema di panggung-panggung kecil maupun besar. Di tengah gegap gempita peringatan Hari Kemerdekaan, puisi Chairil Anwar kembali menjadi pilihan utama dalam lomba baca puisi yang digelar berbagai sekolah, kampus, dan instansi.

5 Mitos Tentang Diet Sehat yang Perlu Kamu Tahu agar Tidak Salah Langkah

 

Tak bisa dipungkiri, Chairil Anwar merupakan sosok penyair yang lekat dengan semangat perjuangan. Puisinya tak hanya menyentuh sisi estetika sastra, tapi juga menggugah jiwa untuk mencintai tanah air. Beberapa puisi kemerdekaan Indonesia ciptaannya seperti Karawang-Bekasi, Diponegoro, dan Aku, menjadi karya abadi yang kerap dipilih dalam lomba baca puisi bertema puisi Agustusan.

Ini 5 Kesalahan Kecil yang Bikin Video Gagal FYP

 

Berikut ini beberapa puisi tersebut:

Gaji UMR? Begini Cara Cerdas Menabung Meski Dompet Pas-pasan

 

1. Judul : KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi

tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.

 

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,

terbayang kami maju dan mendegap hati ?

 

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami.

 

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

 

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

 

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan

atau tidak untuk apa-apa,

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata

 

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

 

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

menjaga Bung Hatta

menjaga Bung Sjahrir

 

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

 

Kenang, kenanglah kami

yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

1948

 

 

2. Judul: DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini

tuan hidup kembali

 

Dan bara kagum menjadi api

 

Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.

Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati.

 

MAJU

 

Ini barisan tak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu.

 

Sekali berarti

Sudah itu mati.

 

MAJU

 

Bagimu Negeri

Menyediakan api.

 

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditindas

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai

 

Maju

Serbu

Serang

Terjang

Februari 1943

 

3.  Judul: 1943

Racun berada di reguk pertama

Membusuk rabu terasa di dada

Tenggelam darah dalam nanah

Malam kelam-membelam

Jalan kaku-lurus. Putus

Candu.

Tumbang

Tanganku menadah patah

Luluh

Terbenam

Hilang

Lumpuh.

Lahir

Tegak

Berderak

Rubuh

Runtuh

Mengaum. Mengguruh

Menentang. Menyerang

Kuning

Merah

Hitam

Kering

Tandas

Rata

Rata

Rata

Dunia

Kau

Aku

Terpaku.

1943

 

4. Judul: PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji

Aku sudah cukup lama dengan bicaramu

dipanggang diatas apimu, digarami lautmu

 

Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945

Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu

Aku sekarang api aku sekarang laut

 

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat

Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar

Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

1948

 

5. Judul: PERAJURIT JAGA MALAM

pro Bahar + Rivai

 

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu

Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,

bermata tajam,

Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya

kepastian

ada di sisiku selama kau menjaga daerah yang mati

ini.

 

Aku suka pada mereka yang berani hidup

Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu…

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu.

 

 

Dalam konteks kekinian, puisi patriotik singkat banyak dicari karena dianggap padat makna dan mudah dipahami. Namun, karya-karya Chairil Anwar yang meski tidak selalu panjang, mampu mengandung kekuatan emosi yang luar biasa. Ia tidak hanya menulis puisi, tapi juga membangkitkan semangat melalui kata-katanya.

 

Banyak pihak menyebut bahwa puisi pahlawan nasional yang ditulis Chairil merepresentasikan gejolak batin rakyat yang merindukan kemerdekaan. “Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi,” adalah baris yang tak hanya menyentuh, tetapi juga menghidupkan kembali kenangan akan pengorbanan para pejuang. Tak heran, puisi ini sering muncul dalam berbagai puisi Agustusan yang digelar setiap tahun.

 

Bagi para pelajar dan masyarakat umum yang sedang mempersiapkan diri untuk lomba baca puisi, mengangkat karya dari puisi Chairil Anwar bisa menjadi pilihan strategis. Selain sarat makna, puisi-puisinya juga memiliki struktur bahasa yang kuat, ekspresif, dan penuh daya ledak emosi, sangat cocok sebagai puisi patriotik singkat yang mengena.

 

Tak sedikit guru dan pembina lomba yang merekomendasikan puisi kemerdekaan Indonesia dari Chairil karena kontennya masih sangat relevan dengan kondisi saat ini. Bahkan dalam banyak acara resmi, puisi pahlawan nasional karangannya masih dikutip sebagai bentuk penghormatan atas jasa para pejuang.

 

Di tengah era digital dan derasnya informasi, semangat kemerdekaan tetap bisa hidup lewat bait-bait sastra. Membaca dan menghayati puisi Chairil Anwar tak hanya memperkuat rasa cinta tanah air, tetapi juga menjembatani generasi muda dengan nilai-nilai perjuangan.

 

Mari rayakan Hari Kemerdekaan dengan lebih bermakna. Bukan hanya dengan lomba dan hura-hura, tetapi juga dengan menyelami kembali makna kebebasan lewat puisi kemerdekaan Indonesia, menjadikannya bagian dari identitas nasional kita—dengan lantang dibaca, dengan dalam dirasa.