Fakta Aneh Tapi Nyata, Kenapa Kita Ngerasa Waktu Makin Cepat Berlalu Saat Dewasa?
- https://pixabay.com/illustrations/time-clock-head-woman-face-view-1739629/
Lifestyle, VIVA Bali – Pernah nggak, kamu merasa baru kemarin tahun baru, tapi sekarang tiba-tiba sudah masuk pertengahan tahun? Atau merasa akhir pekan hanya kedip sebentar, lalu Senin datang lagi tanpa ampun? Kalau kamu sering merasa seperti itu, kamu nggak sendirian. Banyak orang dewasa merasakan hal serupa—seolah waktu berlalu jauh lebih cepat dibanding saat mereka masih kecil. Padahal jam di dinding tetap berdetak dengan kecepatan yang sama. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi?
Saat masih anak-anak, dunia terasa begitu luas, penuh warna, dan setiap harinya penuh kejutan. Liburan sekolah seolah berlangsung selama berbulan-bulan, dan menunggu ulang tahun seperti perjalanan panjang yang tak berujung. Namun, ketika dewasa, waktu terasa mengecil. Hari kerja berlalu dalam kabut rutinitas, akhir pekan menguap tanpa terasa, dan tahun demi tahun lewat seperti siluet yang hanya kita lirik sekilas. Fenomena ini bukan cuma perasaan semata—ada penjelasan ilmiah dan psikologis di baliknya.
Salah satu alasan utamanya adalah cara otak kita memproses dan menyimpan memori. Saat kecil, kita mengalami banyak hal untuk pertama kali: pertama kali naik sepeda, pertama kali ke sekolah, pertama kali punya sahabat. Otak merekam semua itu dengan detail dan dalam jumlah banyak. Semakin banyak memori baru yang kita bentuk, semakin penuh waktu terasa ketika kita mengingatnya kembali. Sebaliknya, saat dewasa, hidup seringkali dipenuhi rutinitas. Pergi ke kantor dengan rute yang sama, mengerjakan tugas yang serupa, dan menjalani hari-hari yang kurang memberikan pengalaman baru. Akibatnya, otak merekam lebih sedikit, dan waktu terasa "kosong". Kita pun merasa hari-hari berjalan begitu cepat.
Ada pula teori proporsi waktu yang cukup terkenal. Secara sederhana, teori ini menjelaskan bahwa satu tahun bagi anak usia lima tahun adalah 20 persen dari seluruh hidupnya. Tapi bagi orang berusia lima puluh tahun, satu tahun hanya dua persen dari hidupnya. Dengan begitu, semakin bertambah usia, satu tahun terasa semakin singkat secara proporsional. Kita secara tidak sadar mengukur waktu berdasarkan pengalaman kita selama hidup. Makin panjang usia kita, makin kecil dan “tak terasa” satu tahun yang lewat.
Faktor biologis pun turut ambil peran. Kadar dopamin—zat kimia di otak yang mempengaruhi rasa senang dan perhatian terhadap hal-hal baru—akan menurun seiring bertambahnya usia. Saat kadar dopamin menurun, kemampuan otak untuk fokus terhadap detail dan pengalaman baru juga ikut menurun. Ini membuat waktu seakan berlari tanpa kita sempat menangkap banyak momen.
Tak hanya itu, otak kita juga rentan terhadap bias memori. Ada fenomena psikologis bernama telescoping effect, yaitu kecenderungan otak mempersepsikan peristiwa masa lalu yang terjadi bertahun-tahun lalu seolah baru terjadi kemarin, dan sebaliknya. Ini membuat kita sulit menilai secara akurat jarak waktu antara satu kejadian ke kejadian lain, dan lagi-lagi memperkuat perasaan bahwa waktu berlalu lebih cepat daripada seharusnya.
Sayangnya, dunia modern juga mempercepat sensasi ini. Pola hidup yang serba sibuk dan digital membuat kita kurang hadir sepenuhnya dalam momen yang sedang terjadi. Aktivitas multitasking, notifikasi tanpa henti, dan konsumsi informasi cepat membuat otak terbiasa bekerja dalam mode otomatis. Kita kehilangan momen “hadir di saat ini”, dan hidup terasa seperti serangkaian potongan yang berlalu begitu saja.