Sandekala Simbol Senja dan Makna Mistis dalam Budaya Sunda

Di balik indahnya cahaya senja, masyarakat Jawa mengenal Sandekala.
Sumber :
  • https://www.pexels.com/id-id/foto/fotografi-siluet-pohon-saat-matahari-terbenam-20303/

Budaya, VIVA Bali – Masyarakat Sunda mengenal istilah Sandekala sebagai waktu yang dipercaya penuh misteri, yaitu ketika matahari tenggelam dan malam mulai datang. Dalam tradisi lisan,

Tari Saman dan Bines, Dua Tradisi Sakral yang Menyatukan Gayo Lues

Sandekala sering dikaitkan dengan sosok makhluk halus yang muncul menjelang malam, sekaligus menjadi simbol batas antara dunia manusia dan dunia gaib.

Secara etimologis, kata Sandekala berasal dari dua kata dalam bahasa Sunda kuno: sande yang berarti “waktu peralihan”, dan kala yang berarti “malam” atau “kegelapan”. Waktu ini menandai transisi antara terang dan gelap, antara aktivitas manusia dan datangnya ketenangan malam. Dalam kepercayaan masyarakat, waktu Sandekala adalah momen sakral yang sebaiknya tidak diisi dengan aktivitas di luar rumah.

Tabot Bengkulu Ritual Sakral Penuh Makna yang Jadi Simbol Kearifan Lokal

Dalam cerita rakyat Sunda, Sandekala digambarkan sebagai makhluk besar bertanduk dan bermata merah yang suka menculik anak-anak yang masih bermain di luar saat senja.

Kisah ini diwariskan turun-temurun sebagai bentuk peringatan agar anak-anak segera pulang sebelum malam.

Barapen Papua, Tradisi Bakar Batu yang Jadi Simbol Persatuan

Namun di balik kisah menyeramkan itu, tersimpan nilai sosial dan pendidikan moral.

Menurut penelitian Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM), mitos Sandekala berfungsi sebagai alat kontrol sosial dan pembentukan kedisiplinan anak. Ia mengajarkan masyarakat pentingnya menjaga waktu dan menghormati masa peralihan siang menuju malam.

Dalam perspektif keagamaan, kepercayaan terhadap Sandekala juga dikaitkan dengan ajaran Islam yang melarang anak-anak keluar rumah ketika waktu Magrib tiba, karena diyakini saat itulah makhluk halus mulai berkeliaran. Hadis Nabi SAW yang menyerukan umat Islam agar “menarik anak-anak ke dalam rumah saat matahari terbenam” menunjukkan makna spiritual yang sejalan dengan nilai kearifan lokal tersebut.

Menurut penelitian UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, Sandekala juga memiliki dimensi simbolik lintas agama. Di beberapa daerah seperti Moga, Pemalang, masyarakat Muslim dan Kristen sama-sama menganggap waktu senja sebagai saat yang sakral waktu ketika alam bertransisi dan manusia diingatkan untuk berhenti sejenak, berdoa, dan menenangkan diri.

Secara kebudayaan, Sandekala tidak semata tentang “hantu” atau makhluk halus,

melainkan representasi keseimbangan alam. Ia menandai pergantian energi, mengajarkan manusia untuk memahami siklus kehidupan dan menghargai waktu.

Kisah Sandekala juga menginspirasi dunia seni. Salah satu wujudnya terlihat dalam tari Sandekala, garapan seni pertunjukan yang dikembangkan di Jawa Barat. Tarian ini

menggambarkan pertarungan antara kekacauan dan keteraturan, dengan tokoh utama seperti Batara Kala sebagai simbol kekuatan destruktif.

Dalam pertunjukan ini, musik gamelan, topeng, dan gerak tradisional digunakan untuk menggambarkan proses penyucian dan pencarian keseimbangan hidup. Menurut laman Indonesia Kaya, “Tari Sandekala” melambangkan kehancuran yang akhirnya musnah setelah manusia menemukan harmoni dan kedamaian batin.

Kini, kisah Sandekala tidak hanya dikenal dalam legenda lisan, tetapi juga muncul dalam media populer, film, hingga konten digital. Meskipun ada perubahan bentuk, nilai-nilai di dalamnya tetap relevan yakni disiplin waktu, keharmonisan, serta kesadaran akan batas antara manusia dan alam gaib.

Tradisi Sandekala menjadi contoh bagaimana mitos lokal tidak hanya berisi cerita mistis, tetapi juga sarat makna moral dan spiritual.

Halaman Selanjutnya
img_title