Menelusuri Jejak Magis Tari Sanghyang Pulau Dewata Bali
- https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Sanghyang_dedari_dance.jpg
Budaya, VIVA Bali – Tari Sanghyang adalah tarian sakral Bali yang dikenal sebagai tari kerauhan, yaitu tarian di mana roh hyang dipercaya memasuki penari, sehingga gerakan mereka menjadi media komunikasi spiritual. Menurut informasi dari situs Pemerintah Kota Denpasar, Sanghyang diwarisi dari tradisi pra-Hindu dan bertujuan menolak bala atau penyakit melalui penyucian. Dalam pertunjukannya, elemen api, gending Sanghyang, dan penari menjadi tiga unsur penting yang tak terpisahkan.
Di Desa Sidatapa, Kabupaten Buleleng, terdapat varian khusus yaitu Sanghyang Gandrung. Seperti dijelaskan di situs Dinas Pariwisata Buleleng, Tari Sanghyang Gandrung dipentaskan setiap tiga tahun sekali selama 42 hari. Ritualitas panjang ini dilakukan untuk menolak malapetaka (penangluk merana) dan sebagai ungkapan syukur atas panen yang melimpah. Uniknya, acara ini diawali dengan tarian Gandrung sebagai pembuka, lalu diikuti Sanghyang sebagai inti ritual.
Dalam pertunjukan Sanghyang Dedari, misalnya, penari wanita cilik yang telah dipersiapkan dengan upacara tertentu akan mengalami kondisi trans, mereka menari tanpa sadar dengan mata tertutup, diangkat di atas pundak pria dan bergerak mengelilingi arena. Gerak mereka sering lembut dan anggun, kontras dengan sifat ritualnya yang kuat. Begitu roh masuk, penari tak sadar akan geraknya tetapi tetap bergerak mengikuti irama gending Sanghyang.
Pemerintah Kota Denpasar juga mencatat beberapa variasi Sanghyang, mencakup Sanghyang Deling, Sanghyang Bojog, Sanghyang Jaran, Sampat, dan Celeng. Misalnya, dalam Sanghyang Jaran, penari yang sudah dimasuki roh menari di atas bara api atau berjalan kaki tanpa alas sebagai simbol keberanian dan keteguhan spiritual.
Dari sisi simbol, Sanghyang mewakili hubungan manusia dengan dunia gaib. Ketika roh hyang memasuki penari, masyarakat Bali percaya bahwa pesan dan energi suci dapat disampaikan kepada komunitas, baik permohonan agar dijauhkan dari penyakit, maupun penguatan spiritual kolektif. Proses persiapan melibatkan banten (sesaji) dan ritual pendahuluan.
Tantangan pelestarian Sanghyang cukup besar. Karena sifat sakralnya, pertunjukan tidak bisa sembarangan dan sering terbatas hanya di upacara besar atau desa tertentu. Di sisi lain, generasi muda kadang kurang terlibat karena kesan mistisnya. Namun di Desa Sidatapa, pelaksanaan Sanghyang Gandrung tetap berjalan, dan penduduk melibatkan komunitas luas agar tradisi ini tidak hilang.