Sayyang Pattuduq, Tradisi Kuda Menari dalam Perayaan Syukuran Masyarakat Mandar

Seorang anak diarak kuda berhias dalam tradisi khas Mandar
Sumber :
  • https://www.instagram.com/p/Cx153D9vmxY/?img_index=1&igsh=N3Axa2NwcmxubTFl

Budaya, VIVA Bali –Sulawesi Barat memiliki warisan budaya unik yang berpadu antara nilai religi dan tradisi, yaitu Sayyang Pattuduq, pertunjukan kuda menari khas Mandar. Dalam prosesi ini, seekor kuda dihiasi aksesori warna-warni, kalung perak, hingga penutup muka, lalu ditunggangi seorang perempuan berpakaian adat Mandar (pissawe) bersama anak-anak yang baru khatam Al-Qur’an. Dengan anggun, kuda melangkah mengikuti tabuhan rebana dan lantunan selawat. Kepala kuda mengangguk-angguk, kaki depannya menghentak seirama, sementara empat pendamping sigap mengendalikannya. Kehadiran arak-arakan ini disambut meriah oleh warga sepanjang jalan, menciptakan suasana penuh kegembiraan dan kebanggaan (indonesiakaya.com).

Melacak Jejak Roti hingga Arsitektur, Warisan Budaya Belanda yang Melebur dalam Tradisi Indonesia

Tradisi ini diyakini sudah berlangsung sejak berabad-abad silam. Versi populer menyebut Sayyang Pattuduq mulai berkembang pada abad ke-16 seiring masuknya Islam ke Kerajaan Mandar. Awalnya, kuda di tanah Mandar adalah simbol kekuasaan dan kemewahan, hanya boleh ditunggangi bangsawan. Namun, setelah Islam berkembang, pesantren menjadikan kuda sebagai sarana pendidikan. Para santri diwajibkan melatih kuda hingga patuh, bahkan membuatnya menari mengikuti irama rebana dan selawat. Dari sinilah, Sayyang Pattuduq tumbuh di lingkungan istana dan kemudian berkembang ke masyarakat sebagai perayaan religius khataman Al-Qur’an (pariwisataindonesia.id).

Dalam pelaksanaannya, prosesi Sayyang Pattuduq dipimpin seorang sawi yang memberi instruksi kepada kuda, diikuti dua penjaga atau passarung dari kerabat peserta. Arak-arakan diiringi grup rebana (parrawanayang) yang terus melantunkan selawat, diselingi pembacaan puisi kalindadaq berisi pesan agama maupun pantun jenaka. Pissawe yang duduk di atas kuda menjalani ritual ussul yang berdiri menghadap matahari sebelum kembali duduk anggun, melambangkan keanggunan sekaligus kekuatan perempuan Mandar. Anak laki-laki yang khatam Al-Qur’an mengenakan sorban dan gamis, sementara anak perempuan memakai kerudung pandawara.

Kerajinan Ukiran Kayu Gianyar Bali Warisan Budaya Ikonik Bernilai Tinggi

Seiring perkembangan, tradisi ini tidak hanya menjadi hadiah bagi anak-anak yang khatam Qur’an, tetapi juga media penyambutan tamu penting, termasuk wisatawan. Bahkan sejak 2013, Sayyang Pattuduq ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Selain sarat nilai religius, Sayyang Pattuduq juga mencerminkan harmoni sosial masyarakat Mandar. Tradisi ini menjadi ajang berkumpulnya warga dari berbagai kalangan untuk saling menyaksikan, memberi doa, dan merayakan keberhasilan generasi muda yang telah menyelesaikan bacaan Al-Qur’an. Suasana jalanan dipenuhi keceriaan, dentuman rebana, serta sorak sorai masyarakat yang berbaur tanpa sekat. Bagi masyarakat Mandar, momen ini bukan sekadar pesta, tetapi simbol keguyuban, penghormatan terhadap ilmu agama, dan bentuk rasa syukur kolektif yang diwariskan turun-temurun.