Ramu dan Ilmu di Surau Syattariyah Pariangan

Meramu sembuh dari naskah sepuh
Sumber :
  • https://unsplash.com/id/foto/orang-menggiling-mortar-dan-alu-bd_fCZhy_W8?utm_content=creditShareLink&utm_medium=referral&utm_source=unsplash

Tradisi, VIVA BaliDi kaki Gunung Marapi, Nagari Pariangan berdiri seperti halaman kitab yang tak pernah selesai dibaca. Desa ini kerap disebut sebagai “desa terindah di dunia”, namun keindahannya bukan hanya soal panorama sawah bertingkat atau rumah gadang yang berdiri anggun. Di balik dinding kayu sebuah surau tua, tersimpan lembar-lembar kertas rapuh yang berusia ratusan tahun. Itulah naskah kuno Syattariyah, warisan tarekat yang sejak lama menjadi nadi kehidupan masyarakat.

Tentang Wabah dalam Manuskrip Aceh

 

Ketika membuka naskah itu, kita tidak hanya menemukan doa, wirid, atau ajaran tasawuf. Ada resep ramuan. Ada petunjuk bagaimana menyembuhkan sakit perut, mengobati demam, bahkan menangkal gangguan makhluk halus. Seolah-olah, surau ini bukan sekadar tempat sembahyang, melainkan juga apotek tradisional yang meramu iman dengan ilmu.

Kenang-Kenangan Syekh Abdul Wahab Calau di Minangkabau Abad 19

 

Penyakit yang Tak Sekadar Fisik

Rajahan Tubuh Dayak, Sejuta Kisah di Balik Tinta Suci

 

Masyarakat Pariangan, sebagaimana tercatat dalam naskah, memandang penyakit sebagai dua sisi. Ada yang berasal dari tubuh, ada pula dari dunia yang tak kasat mata. Sakit kepala, bisa saja karena masuk angin, tapi bisa juga karena ada roh yang mengganggu. Maka penyembuhan tidak cukup dengan jamu atau pijat, harus ada doa dan wirid yang mengiringinya.

 

Di sinilah menariknya, antara agama, magis, dan tradisi menyatu dalam satu tarikan napas. Tidak ada batas tegas antara doa dan obat, antara ayat suci dan dedaunan yang ditumbuk. Bagi masyarakat saat itu, semua berpadu menjadi satu jalan menuju kesembuhan.

 

Ramuan dari Halaman yang Pudar

 

Bayangkan sebuah lembar kertas tua, tintanya mulai memudar, tapi masih jelas menuliskan resep sederhana. Sebutir kunyit, segenggam daun sirih, air yang dibacakan doa tertentu. Inilah bentuk pengobatan yang diracik di surau. Ada ramuan yang diminum, ada yang dibalurkan, ada pula yang digunakan dalam ritual mandi.

 

Sementara itu, guru surau akan membacakan doa atau mantra yang diyakini menambah kekuatan ramuan. Penyembuhan pun menjadi pengalaman spiritual, bukan sekadar perawatan tubuh.

 

Surau sebagai Pusat Pengetahuan

 

Naskah-naskah ini mengingatkan kita bahwa surau di Minangkabau tidak hanya berfungsi sebagai rumah ibadah. Ia adalah ruang belajar, tempat menulis, sekaligus pusat kesehatan masyarakat. Para murid tarekat belajar ilmu agama di siang hari, dan ketika malam tiba, mereka mungkin menyaksikan guru meramu obat untuk warga yang datang dengan keluhan sakit.

 

Di tangan mereka, pengetahuan diwariskan bukan dengan buku cetakan modern, tetapi dengan tulisan tangan di atas kertas rapuh. Naskah itu bukan hanya catatan medis, melainkan juga bukti bahwa masyarakat Pariangan memiliki cara sendiri menjaga keseimbangan hidup. Selaras antara jasmani, rohani, dan alam sekitar.

 

Tantangan di Zaman Kini

 

Namun, naskah-naskah itu kini menghadapi ancaman. Kertasnya rapuh, tintanya memudar, sebagian halaman hilang dimakan usia. Generasi muda banyak yang tak lagi mengenal isi naskah, apalagi meracik obat sesuai petunjuk lama. Arus modernisasi membawa obat pabrikan, rumah sakit, dan cara berpikir yang lebih rasional.

 

Meski begitu, nilai tradisi ini tetap terasa. Ia bukan hanya tentang ramuan, melainkan tentang cara pandang yang holistik. Bersyiar bahwa tubuh dan jiwa adalah satu kesatuan, bahwa doa dan obat bisa berjalan beriringan.

 

Warisan yang Menyembuhkan

 

Naskah Surau Syattariyah di Pariangan adalah bukti bahwa pengetahuan tidak pernah berdiri sendiri. Ia lahir dari kepercayaan, pengalaman, dan cinta pada kehidupan. Membaca naskah ini, seolah kita diajak kembali ke sebuah masa ketika sakit bukan hanya persoalan medis, tetapi juga spiritual.

 

Di sanalah letak kekayaan sejati Pariangan. Tak cuma keindahan alam, melainkan juga hikmah yang tersimpan di balik lembaran kertas tua. Memberi hikmah tentang bagaimana manusia Minangkabau dulu menjaga tubuh, merawat jiwa, dan menyeimbangkan keduanya dalam terang iman.