Labuh Laut Larung Sembonyo, Warisan Budaya Nelayan Prigi yang Memikat Wisatawan

Ilustrasi Labuh Laut Larung Sembonyo
Sumber :
  • https://bali.viva.co.id/gumi-bali/6696-menyelami-misteri-ritual-kematian-suku-asmat-di-papua

Budaya, VIVA Bali – Di sebuah pesisir indah bernama Teluk Prigi, Trenggalek, setiap tahun masyarakat nelayan punya cara tersendiri untuk mengungkapkan rasa syukur. Mereka tidak hanya menatap laut sebagai sumber penghidupan, tetapi juga sebagai sahabat yang harus dihormati. Itulah yang kemudian melahirkan sebuah tradisi unik bernama Labuh Laut Larung Sembonyo, sebuah ritual adat yang hingga kini masih dijaga dengan penuh khidmat.

Gambang Kromong, Warisan Musik Tradisional Khas Betawi

Laut Sebagai Sahabat dan Sumber Kehidupan

Dilansir dari situs Peta Budaya, bagi masyarakat pesisir Prigi, laut bukan hanya hamparan biru tempat mencari ikan. Laut adalah sumber kehidupan, ruang sakral yang memberi rezeki sekaligus menyimpan misteri. Maka, ketika musim panen ikan tiba, nelayan bersama masyarakat menggelar Larung Sembonyo sebagai wujud terima kasih. Kata “larung” sendiri bermakna menghanyutkan, sementara “sembonyo” merujuk pada sesaji besar yang dilarung ke tengah samudera.

Jejak Mitos dan Asal Usul

Misteri dan Keagungan Upacara Tabuik di Pariaman

Konon, tradisi ini sudah ada sejak masa awal dibukanya kawasan Teluk Prigi. Dalam kisah yang dikenal sebagai babad alas Teluk Prigi, masyarakat percaya bahwa menjaga hubungan harmonis dengan laut dan segala penghuninya adalah kunci keberkahan. Dari sanalah lahir Larung Sembonyo bukan sekadar ritual, melainkan sebuah janji antara manusia dan alam.

Rangkaian Ritual Penuh Makna

Pelaksanaan tradisi ini biasanya jatuh pada hari Kliwon di bulan Selo menurut kalender Jawa. Malam sebelum prosesi utama, masyarakat berkumpul untuk melaksanakan tirakat, istighosah, dan sholat hajat. Suasana malam itu penuh doa, hening namun sakral, seolah seluruh kampung menyatu dalam satu harapan.

Berburu Warisan Kain di Nusantara, Panduan Perjalanan untuk Pecinta Tekstil Tradisional

Keesokan paginya, puncak acara dimulai. Sebuah buceng agung tumpeng besar dengan aneka lauk yang diiringi musik tradisional dan doa bersama, dibawa menuju perahu untuk dilarung ke tengah Samudera Hindia. Momen ini selalu menyedot perhatian; nelayan, warga, hingga wisatawan menyaksikan dengan khidmat ketika sesaji perlahan terhanyut, membawa simbol syukur sekaligus doa keselamatan.

Malam setelah prosesi larung, suasana berubah menjadi meriah. Pertunjukan wayang kulit digelar semalam suntuk, ditemani seni tayub yang penuh warna. Tradisi ini bukan hanya ritual, tapi juga pesta rakyat yang mempertemukan semua lapisan masyarakat.

Antara Budaya dan Pariwisata

Hari ini, Larung Sembonyo bukan hanya dinanti warga lokal, tetapi juga menjadi magnet wisata budaya. Banyak wisatawan datang untuk merasakan langsung suasana adat di pesisir, menyaksikan prosesi larung, dan menikmati pertunjukan rakyat. Kehadiran tradisi ini membuka peluang besar bagi pariwisata Trenggalek, sekaligus menggerakkan ekonomi masyarakat.

Warisan yang Harus Dijaga

Di tengah derasnya modernisasi, Labuh Laut Larung Sembonyo adalah pengingat bahwa budaya lahir dari rasa syukur dan hubungan manusia dengan alam. Ritual ini bukan sekadar larung sesaji, melainkan bahasa simbolis yang menyatukan doa, tradisi, dan kebersamaan.

Selama masyarakat Prigi terus menjaga warisan ini, Larung Sembonyo akan tetap hidup. Bukan hanya sebagai tontonan budaya, tapi juga sebagai pelajaran berharga tentang bagaimana manusia seharusnya memperlakukan alam dengan rasa hormat, syukur, dan cinta.