Kopi Robusta, Iklim yang Bergeser, dan Budaya yang Menyatu
- https://www.pexels.com/id-id/foto/alam-tangan-kopi-festival-27777795/
Tradisi, VIVA Bali –Di banyak desa penghasil kopi di Indonesia, secangkir kopi robusta bukan hanya penghilang kantuk. Ia adalah bahasa budaya: tanda keramahan, perekat obrolan, bahkan penanda status sosial. Namun di balik kehangatan itu, ada bayangan perubahan iklim yang mulai mengusik akar-akar kopi.
Sebuah penelitian berjudul "Projection of Robusta Coffee's Climate Suitability for Sustainable Indonesian Coffee Production" menyoroti betapa rapuhnya keterikatan kopi dengan iklim. Para peneliti menunjukkan bahwa dalam beberapa dekade mendatang, sebagian besar wilayah yang selama ini menjadi pusat robusta bisa menghadapi penurunan kecocokan lahan. Mereka menekankan bahwa tanpa adaptasi, hasil panen berpotensi menurun tajam, terutama di dataran rendah yang semakin panas dan kering.
Bayangkan petani di Lampung yang sejak kecil hidup dalam tradisi ngopi pagi di beranda rumah panggung. Bagi mereka, kopi bukan sekadar hasil bumi, tetapi bagian dari identitas. Jika iklim menggeser pola tanam, maka yang terancam bukan hanya panen, melainkan juga tradisi. Di banyak keluarga, ada kisah turun-temurun tentang kebun kopi. Meniti jalan dari cara memilih bibit, ritual sederhana saat panen, hingga cerita rakyat yang dipercaya menjaga pohon tetap subur.
Meski begitu, penelitian ini juga menyebut bahwa wilayah dengan ketinggian menengah hingga tinggi justru akan semakin penting bagi keberlanjutan robusta. Artinya, ada peluang bagi daerah-daerah baru untuk berkembang sebagai pusat produksi. Dengan pemetaan wilayah yang lebih tahan iklim, budaya kopi bisa menemukan rumah baru. Masyarakat bisa melanjutkan tradisi “ngopi” sembari mengadaptasi teknik budidaya yang lebih ramah lingkungan.