Siat Tipat Bantal, Tradisi Lempar Ketupat di Bali sebagai Simbol Persaudaraan dan Rasa Syukur
- https://badungkab.go.id/kab/berita/60175--perang-tipat-bantal-tradisi-unik-desa-kapal-sejak-zaman-patih-kebo-iwa-yang-penuh-dengan-makna
Budaya, VIVA Bali – Bali memang tak pernah habis menyimpan tradisi unik yang sarat makna. Salah satunya adalah Siat Tipat Bantal atau yang dikenal juga sebagai Aci Tabuh Rah Pengangon, sebuah ritual adat di Desa Kapal, Kabupaten Badung. Tradisi ini berlangsung setiap tahun saat Purnama Kapat dalam kalender Bali, di mana warga saling melempar ketupat (tipat) dan jajanan bantal sebagai simbol doa untuk kesuburan, kesejahteraan, dan persaudaraan.
Jadi Tradisi Turun-Temurun Sejak Zaman Patih Kebo Iwa
Menurut catatan sejarah, tradisi ini sudah ada sejak tahun 1339 pada masa Raja Bali Sri Asta Sura Bumi Banten. Kala itu, Patih legendaris Ki Kebo Iwa diutus untuk merestorasi Pura Puru Sada di Desa Kapal. Saat tiba, ia melihat masyarakat sedang mengalami paceklik. Dari situ, ia memohon petunjuk spiritual, hingga muncul wahyu untuk melaksanakan upacara Aci Tabuh Rah Pengangon.
Sejak itulah, tradisi Siat Tipat Bantal terus diwariskan hingga kini. Bahkan, ritual ini sudah berlangsung lebih dari 685 kali tanpa terputus, menjadi warisan budaya yang tak tergantikan bagi masyarakat Desa Kapal.
Filosofi Tipat dan Bantal: Pradana dan Purusa
Di balik kemeriahan lempar-lemparan, ada filosofi mendalam. Tipat atau ketupat, yang terbuat dari nasi dibungkus janur, melambangkan pradana (unsur feminin). Sementara bantal, jajanan dari ketan yang dibungkus daun kelapa, melambangkan purusa (unsur maskulin). Pertemuan kedua unsur ini dipercaya melahirkan kehidupan baru, sumber energi pangan, dan kemakmuran bagi masyarakat.
Karena itu, perang tipat bantal bukan sekadar hiburan, melainkan doa bersama agar masyarakat Desa Kapal terhindar dari bencana dan terus diberkahi hasil panen yang melimpah.
Ritual yang Penuh Kemeriahan
Pelaksanaan Siat Tipat Bantal selalu diawali dengan persembahyangan di Pura Puru Sada, pura bersejarah yang diyakini berdiri sejak zaman Warmadewa abad ke-13. Setelah itu, warga Desa Kapal mulai dari anak-anak, pemuda, hingga orang tua, dibagi menjadi dua kelompok besar. Begitu aba-aba dimulai, mereka saling melempar ketupat dan bantal, menciptakan suasana riuh penuh tawa.
Tradisi ini tak hanya diikuti oleh warga lokal, tetapi juga sering menarik perhatian wisatawan. Para pengunjung bisa ikut merasakan keseruan sekaligus menyaksikan bagaimana ritual sakral bisa berpadu dengan nuansa meriah dan penuh kebersamaan.
Simbol Persaudaraan dan Identitas Desa Kapal
Lebih dari sekadar tradisi, Siat Tipat Bantal menjadi perekat sosial masyarakat Desa Kapal. Dengan ritual ini, solidaritas antarwarga semakin erat, kreativitas tumbuh, bahkan UMKM lokal ikut bergerak karena kebutuhan akan perlengkapan upacara.
Bagi masyarakat Desa Kapal, melestarikan tradisi ini adalah kewajiban. Jika ritual tidak dilaksanakan, diyakini akan terjadi paceklik di masa depan. Itulah mengapa generasi muda terus didorong untuk menjaga warisan leluhur ini agar tetap hidup sepanjang masa.