Lontar Rusak, Ilmu Hilang, Kisah Para Dokter Naskah yang Menyelamatkan Warisan Tulisan Bali
- https://eap.bl.uk/sites/default/files/styles/publicity_image/public/EAP1241%20project%20page_0.jpg?itok=0Rel2A-Q
Gumi Bali, VIVA Bali – Menghadapi Ancaman Kepunahan Lontar
Di tengah geliat pariwisata dan modernisasi, terdapat ancaman serius yang mengintai salah satu pusaka intelektual masyarakat Bali: naskah lontar. Ditulis pada daun lontar (daun palem Tal), naskah ini memuat ragam ilmu mulai dari babad (kronik), mantrasastra, usadha (pengobatan tradisional), hingga wariga (ilmu perbintangan). Namun, iklim tropis yang lembap, serangan hama, dan minimnya pemeliharaan mengakibatkan banyak lontar berada dalam kondisi parah, rapuh, dan bahkan hilang sama sekali.
Menurut laporan British Library Endangered Archives Programme, proyek digitalisasi naskah lontar koleksi Ida Dewa Gede Catra berhasil menyelamatkan 100 lontar yang terancam musnah pada 2021 sungguh gambaran betapa gentingnya situasi ini.
Siapa ‘Dokter Naskah’ Bali?
Istilah ‘dokter naskah’ merujuk pada para konservator khusus yang terlatih memulihkan kondisi fisik dan isi lontar. Mereka berasal dari berbagai lembaga, seperti:
1. Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, melalui program SAT KERTI yang mendata dan memfasilitasi konservasi naskah lontar.
2. Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung, yang rutin mengadakan kegiatan konservasi di Griya Semara Kencana, Desa Blahkiuh.
3. Komunitas Hanacaraka Society, yang mendapatkan apresiasi atas digitalisasi ratusan naskah lontar di Bali.
Mereka bekerja bak tim medis: mulai dari ‘diagnosa’ kerusakan (rapuh, serangan jamur, hama), ‘penanganan darurat’ (pembersihan lembut, stabilisasi kelembapan), hingga ‘rehabilitasi jangka panjang’ (digitalisasi, pembuatan replika, katalogisasi).
Proses Konservasi, Seni dan Ilmu Bertemu
1. Pemeriksaan Awal
Dokter naskah memeriksa tingkat keausan, noda, lubang, dan jamur. Dengan kaca pembesar, mereka mengidentifikasi jenis serangan hama, misalnya kumbang lontar atau rayap.
2. Pembersihan Fisik
Menggunakan kuas berbulu halus dan pinset, debu serta sisa-sisa kotoran diangkat. Untuk noda membandel, larutan etanol ringan dipakai, namun harus hati-hati agar tinta aksara Bali tak luntur.
3. Stabilisasi Bahan
Lontar yang retak direkatkan dengan perekat organik alami (campuran damar dan cengkeh). Kemudian, naskah dikeringkan dalam ruang ber-AC dan kelembapan terkontrol.
4. Digitalisasi dan Katalogisasi
Setiap helai lontar di-scan dengan kamera resolusi tinggi. Metadata (judul naskah, pemilik, lokasi temuan) dicatat dalam sistem SAT KERTI.
5. Penyimpanan Khusus
Lontar yang telah pulih disimpan di kotak berisi silica gel, dengan suhu stabil 18–22 °C dan kelembapan 45–55 %.
Kisah di Lapangan, Festival Konservasi Lontar
Pada Festival Konservasi Lontar di Denpasar (12 Februari 2024), ratusan lontar dari koleksi warga dipindai dan dibersihkan. Penyuluh Bahasa Bali yang bertugas begitu telaten membersihkan setiap helai lontar, memastikan tinta tak tergores saat pembersihan.
“Kami ingin memastikan ilmu leluhur Bali ini tak punah,”
ujar I Ketut Suryadi, salah satu penyuluh aktif di acara tersebut.
Antusiasme masyarakat cukup tinggi banyak keluarga membawa lontar warisan turun-temurun untuk ‘check-up’ gratis, seolah merawat kesehatan rohani leluhur.
Peran Komunitas dan Akademisi
Selain instansi pemerintah, komunitas lokal dan peneliti turut berkontribusi. Misalnya:
1. Hanacaraka Society, yang memadukan metode tradisional dan teknologi digital untuk memublikasikan lontar dalam bentuk e-book.
2. Akademisi dari Universitas Udayana dan Universitas Indonesia, yang mengkaji kandungan teks lontar, misalnya resep obat tradisional atau filosofi etika Bali.
3. GEDONG KIRTYA di Singaraja, perpustakaan hasil kolaborasi Belanda–Bali sejak 1920-an, yang menyimpan ribuan lontar dan melakukan transliterasi naskah ke aksara Latin .
Tantangan yang Masih Mengintai
1. Sumber Daya Terbatas
Jumlah konservator cukup, tetapi biaya perawatan naskah tergolong mahal mencakup peralatan, bahan organik, hingga ruang iklim terkontrol.
2. Kurangnya Kesadaran
Banyak warga masih memandang lontar sebagai pusaka ‘hanya untuk dipajang’, bukan sebagai sumber pengetahuan yang perlu dibaca dan dipelajari.
3. Perubahan Sosial
Generasi muda, lebih akrab dengan smartphone, kurang tertarik mempelajari aksara Bali dan membaca lontar.
4. Risiko Bencana
Kebakaran pura, banjir, hingga gempa dapat merusak koleksi lontar bila penyimpanan tidak memenuhi standar.
Menatap Masa Depan, Kolaborasi dan Inovasi
Untuk memastikan ilmu di lontar hidup terus, diperlukan:
1. Pendidikan Aksara Bali di sekolah dan komunitas, agar makin banyak generasi muda yang mahir membaca lontar.
2. Dana Abadi Pelestarian dari pemerintah dan donatur internasional, khusus untuk konservasi manuskrip.
3. Pengembangan OCR Aksara Bali, sehingga teks lontar bisa dicari dan dianalisis secara digitalmempercepat penelitian lintas disiplin.
Proyek Balinese Wikisource (WikiPustaka), misalnya, telah memulai digitalisasi naskah lontar dan membuka akses terbuka bagi khalayak luas . Ke depan, inisiatif serupa perlu didukung dan diadopsi oleh lebih banyak lembaga.
Naskah lontar merupakan jendela masa lalu Bali mengungkap kebijaksanaan leluhur dalam berbagai aspek kehidupan. Para ‘dokter naskah’ telah melakukan tugas mulia: memulihkan warisan tulis ini agar tak musnah diterpa waktu. Namun, peran kita semua pemerintah, akademisi, komunitas, dan generasi muda sama pentingnya. Dengan sinergi antara konservasi fisik, digitalisasi, dan edukasi, warisan intelektual Bali akan tetap hidup, menginspirasi, dan memandu masyarakat di masa mendatang.