Natalius Pigai Usul Halaman DPR Jadi Lokasi Resmi Demonstrasi Masyarakat

Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai
Sumber :
  • https://www.tvonenews.com/berita/nasional/371092-menham-usul-halaman-dpr-jadi-lapangan-demonstrasi-publik-heboh-simbol-baru-demokrasi?page=all

Jakarta, VIVA Bali – Menteri Hak Asasi Manusia (Menham) Natalius Pigai melontarkan usulan yang mengejutkan. Idenya adalah agar halaman Gedung DPR RI di Senayan dijadikan lokasi resmi unjuk rasa bagi masyarakat.

Pemerintah Bebaskan 4.800 Massa Aksi Demonstrasi, 583 Massa Masih Diproses Hukum

 

 

Pelecehan Seksual Semakin Marak Terjadi, Begini Cara Menghindari dan Menghadapinya

Gagasan tersebut sontak menuai sorotan publik. Banyak yang menilai ide itu berani karena menyentuh langsung jantung demokrasi.

Menurut Natalius Pigai, kehadiran ruang demonstrasi di kompleks parlemen bukan hanya simbolis, tetapi strategi konkret untuk mempertemukan aspirasi rakyat dengan wakilnya.

Hikaria Ubud Wisata Baru dengan Night Walk Imersif Pertama di Bali

“Menyediakan ruang demonstrasi di halaman DPR adalah pilihan strategis karena aspirasi masyarakat tersalurkan, ketertiban publik terjaga, dan simbol kedaulatan hadir di parlemen,” ujar Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai. Senin 15 September 2025.

Kemudian, Menham menekankan bahwa menyampaikan pendapat secara damai merupakan hak setiap warga negara. Negara berkewajiban menghadirkan ruang yang aman untuk itu.

Selain itu, Natalius Pigai menilai gagasan ini sejalan dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto pada 31 Agustus lalu. Saat itu, Presiden menegaskan kebebasan berpendapat dijamin oleh Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Undang-Undang HAM, serta Pasal 28E UUD 1945.

“Praktik demokrasi sering menimbulkan gesekan karena lokasi unjuk rasa biasanya di jalan raya sehingga menyebabkan kemacetan dan benturan. Jika halaman DPR dibuka sebagai ruang demonstrasi, negara menjawab dilema itu,” tegas Natalius Pigai, dilansir dari tvonenews.com.

Lebih lanjut, Menham Pigai berpendapat setidaknya ada delapan alasan yang mendasari usulan ini. Sebagai simbol demokrasi autentik, kedekatan dengan pusat aspirasi, mengurangi beban lalu lintas, menjaga ketertiban, mendorong budaya dialog, menghapus stigma negatif demonstrasi, efisiensi logistik, serta membuka peluang jadi preseden di daerah lain.

Selain itu, Natalius Pigai juga mencontohkan sejumlah negara yang memiliki ruang demonstrasi resmi. Di Jerman ada alun-alun di Berlin, Inggris mengatur Parliament Square.

Kemudian, Singapura memiliki Speakers’ Corner, Amerika Serikat mengenal free speech zones, sementara Korea Selatan memfasilitasi aksi besar di Gwanghwamun Square.

“Pelajaran penting, ruang demokrasi di jantung kota justru memperkuat aspirasi tanpa menutup kemungkinan aksi di tempat lain,” kata Menteri Hak Asasi Manusia.

Gagasan serupa sebenarnya pernah muncul dalam Renstra DPR 2015–2019. Saat itu, dirancang “alun-alun demokrasi” di sisi kiri kompleks parlemen dengan kapasitas hingga 10 ribu orang. Peresmian simbolis sudah dilakukan pada 21 Mei 2015, namun proyek tersebut tidak berlanjut.

Selain itu, Pemprov DKI Jakarta sempat membangun Taman Aspirasi di kawasan Monas pada 2016. Namun fasilitas tersebut lebih bersifat simbolis dan tidak difungsikan sebagai lokasi resmi demonstrasi.

“Momentum politik saat ini bisa menjadi kesempatan kedua. Jangan hanya wacana, halaman DPR harus benar-benar jadi ruang demokrasi,” ujar Menham Natalius Pigai.

Usulan Natalius Pigai mendapat beragam sambutan. Sebagian publik mendukung karena dinilai mampu menata demonstrasi dengan lebih tertib. Namun ada juga yang khawatir gagasan tersebut justru menjadi instrumen pembatasan, seperti kritik yang kerap diarahkan pada Speakers’ Corner di Singapura.

Namun, Menham Pigai menepis kekhawatiran itu. Natalius Pigai menegaskan gagasannya bukanlah pembatasan, melainkan perluasan ruang demokrasi yang aman dan representatif.

“Indonesia harus menghindari jebakan regulasi yang mengekang kebebasan. Justru dengan ruang di DPR, kita memperluas fasilitasi demokrasi dalam bentuk paling substantif,” ucap Natalius Pigai

Kini, bola ada di tangan pemerintah dan DPR. Apakah membuka halaman parlemen bagi rakyat bisa menjadi simbol demokrasi baru, atau justru memicu perdebatan tentang batas kebebasan berpendapat.