Penolakan Sekolah Garuda di Lombok Timur Dinilai Tak Berdasar

Tokoh Masyarakat Lombok Timur, Sawaludin
Sumber :
  • Amrullah/VIVA Bali

Lombok Timur, VIVA Bali – Polemik rencana pembangunan Sekolah Garuda di kawasan Lemor, Kecamatan Suela, Lombok Timur, masih terus memantik perdebatan. Sejumlah pihak menolak dengan dalih pelestarian lingkungan, namun ada pula yang menilai alasan tersebut terlalu dilebih-lebihkan dan tidak memiliki dasar yang kuat.

Petani Tembakau Lombok Timur Menjerit, Panen Gagal di Tengah Harga Anjlok

Seorang tokoh pemuda Lombok Timur Sawaludin menyampaikan bahwa kondisi kawasan Lemor tidak seperti yang digambarkan pihak penolak. 

Menurut Pria yang akrab disapa Awenk ini, wilayah tersebut bukan hutan belantara yang harus dikhawatirkan secara berlebihan, melainkan area yang masih bisa dimanfaatkan untuk pengembangan pendidikan unggulan.

Lebih dari 2 Bulan Tanpa Hujan, BMKG Imbau Warga Bali dan NTB Bersiap Hadapi Kekeringan

“Kalau nanti sekolah ini berdiri, justru mereka yang sekarang menolak akan menjadi orang pertama yang ingin mendaftarkan anak-anaknya. Jadi jangan sampai penolakan hanya didasarkan pada isu yang dilebih-lebihkan,” ujarnya. Kamis 11 September 2025

Ia menekankan, kehadiran sekolah internasional tersebut akan menjadi kebanggaan masyarakat Lombok Timur. Apalagi, kata dia, proses menghadirkan Sekolah Garuda tidak mudah, karena pemerintah daerah harus bersaing dengan banyak wilayah lain di Nusa Tenggara Barat bahkan di tingkat nasional.

Proyek Bawang Putih di Sembalun Diduga Bermasalah, Petani Menjerit

“Selama ini tidak banyak yang memperjuangkan Lemor. Baru sekarang muncul suara peduli, padahal menghadirkan sekolah unggulan seperti ini butuh kerja keras dan kompetisi panjang,” tegasnya.

Diberitakan sebelumnya, tokoh masyarakat Suela, Parizi, menyatakan bahwa kawasan Kebun Raya Lemor (KRL) memiliki arti penting bagi kehidupan ribuan warga.

Ia mengingatkan bahwa di dalam kawasan itu terdapat sumber mata air utama yang selama ini menjadi tumpuan kebutuhan masyarakat.

“Kalau ruang konservasi ini dialihfungsikan, dampaknya bukan hanya untuk satu desa, tapi juga bagi seluruh kecamatan. Air Lemor sudah menyelamatkan banyak orang,” katanya, Rabu 10 September 2025.

Parizi juga mengingatkan soal aspek hukum. Ia menuturkan, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 22/2012, kawasan KRL ditetapkan sebagai Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK). 

Legalitas itu, lanjutnya, diperkuat dengan Peraturan Bupati Lombok Timur No. 188.45/714/LHK/2017, yang menegaskan fungsi konservasi, penelitian, pendidikan lingkungan, dan wisata ekologi.

“Dengan aturan sekuat itu, bagaimana mungkin kawasan ini justru dipakai untuk lokasi sekolah. Itu jelas bertentangan dengan amanat regulasi,” tegas mantan aktivis PMII tersebut.

Meski keberatan, Parizi menyebut dirinya tidak menolak sekolah unggulan. Menurutnya, pembangunan tetap bisa dilakukan dengan memilih lokasi lain yang lebih sesuai, misalnya lahan negara atau tanah pecatu yang selama ini terbengkalai.

“Banyak aset daerah yang kosong, seharusnya itu bisa dimanfaatkan. Jangan sampai PAD dari sektor wisata Lemor hilang gara-gara kesalahan kebijakan,” tambahnya.

Ia pun mendesak bupati dan DPRD Lombok Timur untuk turun tangan mengevaluasi kebijakan pembangunan tersebut. Ia menilai, pemerintah daerah perlu menunjukkan keberpihakan pada kepentingan publik, bukan hanya pada pelaksanaan proyek.

Sementara itu, Bupati Lombok Timur H. Haerul Warisin sebelumnya menegaskan, Sekolah Garuda tetap akan dibangun di atas lahan seluas 20 hektare. 

Ia menyebut lulusan sekolah unggulan tersebut diwajibkan melanjutkan pendidikan ke luar negeri sebagai upaya mencetak generasi berkualitas yang mampu membawa daerah lebih maju.