MAS Tidak Setuju Pemberian Denda Rp 2 Juta Kepada Anak yang Menikah Dini

Ilustrasi pengantin anak sasak.
Sumber :
  • Ida Rosanti/ VIVA Bali

Lombok Tengah, VIVA Bali –Ketua Majelis Adat Sasak (MAS) Lalu Sajim Sastrawan menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah menyepakati adanya awik-awik (aturan adat) tentang pemberlakukan denda terhadap anak usia sekolah yang menikah dini. 

Pernikahan Anak Hampir Terjadi Lagi di Lombok Tengah

Hal itu disampaikan budayawan dan mantan birokrat NTB tersebut terkait dengan kasus SMY (14), pengantin anak di Lombok Tengah yang viral beberapa waktu lalu. Di mana SMY yang masih duduk di bangku kelas VII SMPN 1 Praya Timur harus membayar denda sebesar Rp 2 juta ke pihak sekolah karena menikah dini.

"Kalau itu (bayar denda) kita tidak tau.  Itu bagaimana bisa kita hargai manusia dengan Rp 2 juta," cetusnya ketika dikonfirmasi Bali.viva.id, Jumat, 13 Juni 2025.

Tiga Kursi Kosong, Belum Ada Usulan PAW ke Sekretariat DPRD Lombok Tengah

Dikatakan, MAS tidak menyetujui adanya pemberian denda Rp 2 juta terhadap anak yang menikah dini. Karena poin utama masalah ini sejatinya adalah pelanggaran peraturan daerah dan juga Undang-undang tentang pencegahan pernikahan anak. 

"Dan kita juga suku Sasak itu tidak mengenal pernikahan anak yang semacam itu. Jadi yang kita inginkan adalah bagaimana masyarakat Sasak ini menikahkan putra-putrinya yang sudah dewasa yakni usianya sudah sesuai untuk menikah berdasarkan UU, dewasa dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan," kata dia.

Bandara Lombok Siap Sambut Kepulangan Jamaah Haji

Dia melanjutkan, MAS menginginkan warga suku Sasak menikah di usia yang ideal untuk perbaikan Sumber Daya Manusia (SDM).

"Masyarakat adat menolak cara (pemberian denda) semacam itu. Prinsipnya pernikahan dini tidak dibenarkan karena kita sedang mencari manusia yang berkualitas, ini bagaimana bisa anak menikah nanti kemudian melahirkan anak, bagaimana itu kualitas sumber daya manusianya," katanya.

Terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Lombok Tengah Lalu Idham Khalid juga mengatakan bahwa tidak ada aturan resmi dari pemerintah daerah terkait pemberian denda bagi siswa yang menikah dini. Hal ini merupakan kebijakan dari pihak sekolah. Dinas Pendidikan juga belum berencana untuk menjadikan kebijakan  pemberian denda itu sebagai peraturan daerah yang final dan mengikat.

"Mungkin itu kesepakatan tidak tertulis oleh pihak sekolah supaya ada efek jera agar tidak dicontoh murid lain," kata Idham.