Kuasa dan “Kebenaran” dalam Kacamata Foucault

Jasa besar itu bernama Foucault
Sumber :
  • https://cdn.britannica.com/88/61988-050-CF52C93A/Paul-Michel-Foucault.jpg

Politik, VIVA Bali – Pernahkah kita bertanya-tanya, mengapa kata “normal” bisa membuat orang merasa aman, sementara kata “abnormal” bisa langsung memojokkan seseorang? Dua kata sederhana ini tidak hanya menjelaskan sesuatu, tetapi juga memberi cap. Di sinilah Michel Foucault, filsuf asal Prancis, mengajarkan kita cara lain melihat bahasa.

Wacana sebagai Alat Kekuasaan

Misbakhun Ngeles, Video Tracking Sydney Marathon Malah Bikin Heboh di Medsos

Menurut Foucault, bahasa tidak pernah netral. Setiap ucapan, tulisan, atau istilah yang kita pakai adalah bagian dari wacana. Wacana ini kemudian membentuk pengetahuan. Namun, pengetahuan yang kita sebut “benar” tidak pernah berdiri sendiri; ia lahir dari relasi kuasa. Inilah yang Foucault sebut sebagai konsep power/knowledge.

Contohnya bisa dilihat pada abad ke-19, ketika dunia medis menetapkan siapa yang sehat dan siapa yang “gila”. Begitu seseorang dicap gila oleh dokter, hidupnya berubah total. Ia bisa dikurung, diasingkan, bahkan kehilangan hak untuk bicara tentang dirinya sendiri. Di sini, kata-kata medis bukan lagi sekadar deskripsi, melainkan instrumen kekuasaan.

Siapa yang Punya Hak Bicara?

Serunya Liburan di Scientia Square Park Tangerang! Cek Harga Tiket, Wahana, dan Syarat Naik

Foucault percaya, setiap masyarakat punya aturan tak kasat mata yang menentukan siapa yang berhak bicara. Seorang pejabat mungkin lebih didengar dibanding aktivis, meski pesannya sama. Seorang profesor lebih dipercaya dibanding warga biasa dalam soal ilmiah. Wacana menyaring siapa yang masuk ke lingkaran “kebenaran” dan siapa yang disisihkan.

Kalau kita tarik ke era digital, algoritma media sosial bisa dianggap sebagai “penjaga gerbang” baru. Ia menentukan suara siapa yang muncul di beranda, dan siapa yang terkubur di balik layar. Lagi-lagi, bukan sekadar kata-kata, tapi kuasa yang mengatur.

Arkeologi dan Genealogi Wacana

166 Dapur Sehat Dijanjikan, Nyatanya Baru 40 yang Hidup Di Lombok Timur

Foucault mengembangkan dua pendekatan untuk membaca wacana. Pertama, arkeologi wacana dengan tujuan menelusuri lapisan-lapisan sejarah yang membentuk pengetahuan. Misalnya, bagaimana standar tubuh ideal terbentuk dari majalah mode, iklan, hingga budaya populer. Lalu genealogi wacana yang menyingkap hubungan kuasa di baliknya. Misalnya, siapa yang diuntungkan dari industri kecantikan, dan siapa yang tersingkir. Dengan cara-cara itu, Foucault mengajak kita untuk tidak hanya menerima kebenaran apa adanya, melainkan bertanya tentang siapa yang menciptakan “kebenaran” itu, dan untuk kepentingan siapa?

Mengapa Masih Relevan?

Hari ini, di tengah banjir informasi dan perdebatan online, pemikiran Foucault justru terasa semakin segar. Isu hoaks, perang wacana politik, bahkan perdebatan soal sains dan agama, semuanya berkisar pada siapa yang berhak menentukan kebenaran.

Foucault mengingatkan kita, bahwa setiap “fakta” adalah hasil pergulatan kuasa. Dan tugas kita sebagai pembaca kritis adalah menelisik, siapa yang bicara, atas nama siapa, dan untuk siapa.

Foucault tidak menyuruh kita menolak kebenaran, melainkan lebih waspada. Di balik setiap kata, ada kuasa yang bekerja. Dan justru di situlah letak kebebasan kita. Untuk berani mempertanyakan apa yang tampak seolah-olah sudah pasti.