Sulit Bahagia? Mungkin Ada Anak Kecil di Dalam Dirimu yang Terluka

"luka lama yang masih tersisa"
Sumber :
  • https://id.pinterest.com/pin/892416482420969209/

Kesehatan, VIVA Bali – Kadang, kita merasa marah tanpa sebab. Kita terlalu sensitif ketika dikritik, atau merasa hampa meskipun hidup tampak baik-baik saja. Di balik perasaan-perasaan itu, bisa jadi ada sesuatu yang belum selesai—luka dari masa kecil yang belum sempat kita sembuhkan. Inilah yang oleh banyak psikolog disebut sebagai inner child, bagian terdalam dari diri kita yang menyimpan ingatan, rasa sakit, dan harapan dari masa kanak-kanak.

Cheat Day saat Diet? Perhatikan Ini Sebelum Kebablasan

Konsep inner child sebenarnya bukan hal baru. Dalam psikologi, terutama pendekatan transpersonal dan humanistik, inner child adalah representasi emosional dari diri kita saat kecil—bagian yang polos, penuh imajinasi, tapi juga sangat rentan. Carl Jung, seorang psikoanalis terkenal, menyebutnya sebagai “divine child” atau anak ilahi yang menyimpan potensi dan luka dalam waktu yang sama. Dalam praktik modern, konsep ini terus berkembang dan digunakan dalam terapi untuk membantu individu mengenali akar dari berbagai pola emosi dan perilaku yang sulit dijelaskan.

Namun, luka inner child tidak selalu tampak secara langsung. Sering kali, ia bersembunyi dalam bentuk overthinking, takut ditinggalkan, sulit mempercayai orang lain, atau perfeksionisme berlebihan. Kita tumbuh dalam masyarakat yang menuntut dewasa sejak dini. Banyak anak-anak yang diminta “jangan cengeng”, “tahan tangis”, atau “harus kuat”. Tanpa sadar, mereka belajar menekan perasaan—dan luka itu terbawa hingga dewasa. Penelitian dari STIKes Kuningan, misalnya, mengungkap bahwa pengalaman trauma saat masa kecil masih membekas kuat dan berpengaruh terhadap kestabilan emosi seseorang meski usianya sudah dewasa.

Jalani Diet Sehat, Masak Dada Ayam dengan Metode Ini

Luka inner child juga memengaruhi bagaimana kita menjalin hubungan. Seseorang yang mengalami penelantaran emosional di masa kecil bisa tumbuh menjadi pasangan yang sangat cemas atau justru menghindari kedekatan. Sebuah studi dari Universitas Negeri Padang menemukan bahwa individu yang pernah mengalami kekerasan dalam keluarga cenderung memiliki inner child yang “terluka berat” dan mengalami kesulitan membangun hubungan interpersonal yang sehat.

Namun kabar baiknya, inner child bisa disembuhkan. Kita bisa belajar menjadi orang tua yang baik bagi diri sendiri. Proses ini disebut self-reparenting, yaitu merawat kembali diri kecil kita yang dulu mungkin tidak mendapat cinta atau perlindungan yang cukup. Caranya pun bermacam-macam. Salah satu yang paling sederhana adalah journaling—menulis surat untuk diri kecil, berbicara padanya, atau menuliskan perasaan yang selama ini dipendam. Praktik ini bisa membantu membangun koneksi yang lebih dalam dengan diri sendiri.

Peduli Kesehatan Pencernaan? Berikut Tips Makan yang Baik

Ada juga teknik yang disebut butterfly hug, yaitu menyilangkan tangan di dada dan menepuk pelan bahu secara bergantian, mirip seperti kepakan kupu-kupu. Teknik ini terbukti membantu mengurangi kecemasan dan mengaktifkan perasaan aman dalam diri, terutama bagi mereka yang memiliki luka batin dari masa lalu. Terapi ini telah digunakan dalam beberapa studi di Indonesia, termasuk dalam membantu pemulihan emosi pada ibu rumah tangga dan anak-anak korban kekerasan.

Selain itu, praktik mindfulness dan meditasi visualisasi juga banyak digunakan untuk menyembuhkan inner child. Dalam meditasi ini, seseorang diajak membayangkan diri kecilnya, mendekatinya, memeluknya, dan mengatakan hal-hal yang menenangkan seperti: “Kamu aman sekarang,” atau “Aku sayang kamu.” Dengan mengulang-ulang afirmasi ini, perlahan luka emosional bisa mereda.

Halaman Selanjutnya
img_title