Fakta Unik Ogoh-Ogoh yang Jarang Diungkap

Ogoh-ogoh, bukan sekadar makhluk seram yang diarak
Sumber :
  • https://cdn.kibrispdr.org/data/468/gambar-ogoh-ogoh-2016-43.jpg

Fakta Unik, VIVA Bali – Setiap tahun menjelang Hari Raya Nyepi, warga Bali menampilkan atraksi yang sangat khas, yaitu pawai ogoh-ogoh. Bagi sebagian wisatawan, ini mungkin sekadar tontonan menarik. Tapi tahukah kamu kalau ogoh-ogoh sebenarnya menyimpan berbagai fakta unik yang jarang dibahas secara mendalam?

Asal Usul Nama "Ogoh-Ogoh" yang Filosofis

Intip Rahasia di Balik Rasa Matcha yang Unik

Kata "ogoh-ogoh" berasal dari kata Bali ogah-ogah yang berarti digoyang-goyangkan. Penamaan ini bukan tanpa makna. Saat pawai berlangsung, ogoh-ogoh memang diarak dengan digoyang-goyang kuat oleh para pemuda. Tapi lebih dari itu, gerakan ini melambangkan kegoncangan batin dan dunia yang sedang dibersihkan dari unsur negatif sebelum hari sunyi Nyepi. Jadi, gerakannya bukan sekadar gaya, tapi ada filosofi di balik setiap goyangannya.

Tradisi Modern, Bukan Warisan Kuno

Meski terlihat seperti tradisi leluhur, ogoh-ogoh sebenarnya baru muncul sekitar tahun 1980-an. Hal ini berkaitan erat dengan pengakuan Hari Raya Nyepi sebagai hari libur nasional di Indonesia. Masyarakat Bali kemudian mengekspresikan semangat penyucian dan introspeksi lewat kreativitas seni rupa dalam bentuk ogoh-ogoh. Jadi, ogoh-ogoh adalah contoh nyata bagaimana budaya bisa berkembang mengikuti zaman tanpa kehilangan ruh spiritualnya

Perwujudan Bhuta Kala: Energi Liar dalam Diri Manusia

Fungsi Sebenarnya Lubang di Tutup Minuman yang Jarang Diketahui

Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala adalah simbol kekuatan waktu dan alam yang belum dijinakkan. Ogoh-ogoh menggambarkan makhluk-makhluk mengerikan sebagai bentuk visual dari energi negatif, seperti nafsu amarah, iri hati, dan keangkuhan. Dengan membuat dan membakar ogoh-ogoh, masyarakat Bali secara simbolik mengusir energi jahat itu dari dalam diri maupun lingkungan sekitarnya. Ini bukan sekadar seni rupa, tapi ini adalah bentuk meditasi kolektif.

Pawai yang Penuh Makna Spiritual

Prosesi ogoh-ogoh dilakukan pada malam sebelum Nyepi, disebut Pengerupukan. Saat itu, umat Hindu berkeliling membawa obor, gamelan, dan ogoh-ogoh untuk ‘mengusir’ buta kala. Puncaknya adalah pembakaran ogoh-ogoh yang disebut pralina, sebagai lambang penghancuran sifat buruk. Ritual ini mengajak setiap individu untuk introspeksi dan ‘memulai dari nol’ saat Nyepi. Ini adalah bentuk terapi spiritual massal ala Bali.

Tak Hanya Umat Hindu yang Terlibat

Tradisi Bali Yang Penuh Kisah Magis Umat Hindu

Menariknya, tradisi ogoh-ogoh juga sering melibatkan masyarakat lintas agama. Di Kediri, misalnya, warga Muslim ikut membantu membuat hingga mengarak ogoh-ogoh sebagai wujud solidaritas budaya. Hal ini mencerminkan nilai toleransi yang sangat tinggi dan memperlihatkan bahwa budaya bisa menyatukan masyarakat tanpa melihat perbedaan keyakinan. Ogoh-ogoh menjadi ruang kolaborasi dan harmoni, bukan sekadar ritual internal umat Hindu.

Media Kritik Sosial yang Kreatif

Bentuk ogoh-ogoh tidak selalu makhluk mitos menyeramkan. Dalam beberapa tahun terakhir, seniman muda mulai membuat ogoh-ogoh berbentuk tokoh-tokoh terkenal, dari politisi, tokoh kartun, bahkan sosok antagonis dalam berita. Tujuannya bukan untuk menertawakan, tapi sebagai media kritik sosial yang edukatif. Dengan bentuk-bentuk ini, ogoh-ogoh menjadi lebih dekat dengan generasi muda sekaligus menyampaikan pesan-pesan moral secara visual dan kreatif.

Prosesi Pembakaran: Simbol dari ‘Membakar’ Ego

Setelah diarak keliling, ogoh-ogoh biasanya dibakar dalam upacara pralina. Ini adalah simbol penting: ego, kesombongan, dan segala emosi buruk yang divisualisasikan dalam bentuk ogoh-ogoh harus dihancurkan. Saat api membakar patung, masyarakat diajak untuk ikut ‘membakar’ segala hal negatif dalam dirinya. Ritual ini bukan hanya pembersihan ruang fisik, tapi juga batin, sebagai sebuah bentuk ‘detoks’ spiritual menjelang tahun baru Saka.

Jadi, ogoh-ogoh bukan hanya karya seni luar biasa, tapi juga cermin budaya, spiritualitas, dan toleransi masyarakat Bali yang sangat kaya.