Ketika Busana Bangsawan Bali Berjumpa Fashion Barat

Bangsawan Bali tempo dulu
Sumber :
  • https://disbud.bulelengkab.go.id/uploads/konten/lima-sumber-kekayaan-raja-bali-tempo-dulu-87.jpg

Budaya, VIVA BaliBali identik dengan adat dan tradisi yang terjaga kuat, termasuk dalam hal busana. Namun sejarah mencatat, pada periode 1800-1940, terutama di wilayah Bali Utara, busana bangsawan tidak lepas dari sentuhan dunia luar. Penelitian A.A.Ngr. Anom Mayun K. Tenaya mengungkap bagaimana pengaruh fashion Barat masuk dan membentuk hegemoni pada penampilan kaum bangsawan Bali.

Atraksi Bambu Gila, Pertunjukan Mistis dari Tanah Maluku

 

Dari Kamen ke Jas Eropa

Komedi dan Kritik Sosial dalam Pertunjukan Ludruk

 

Sebelum kedatangan pengaruh Barat, busana bangsawan Bali berakar pada kain tradisional seperti kamen, wastra songket, serta hiasan kepala berornamen emas. Semua itu melambangkan status sosial, spiritualitas, sekaligus kekuasaan.

Bahasa Daerah yang Terancam Punah, Menjaga Bahasa Ibu di Tengah Globalisasi

 

Namun, pada masa kolonial Belanda, arus globalisasi gaya hidup mulai menyusup. Para bangsawan Bali Utara yang memiliki akses pada dunia luar mengenakan pakaian gaya Eropa seperti jas, sepatu kulit, dan bahkan topi. Tidak jarang, busana tradisional dipadukan dengan elemen modern. Memunculkan sebuah bentuk hibrid sarat kekuasaan sekaligus keterbukaan pada modernitas.

 

Fashion dan Simbol Status

 

Penelitian ini menekankan bahwa perubahan busana bukan sekadar soal selera. Ada unsur hegemoni budaya di dalamnya. Fashion Barat menjadi tanda status baru: bangsawan yang mengenakan jas atau gaun ala Eropa dianggap lebih modern dan terdidik.

 

Hal ini juga memperlihatkan adanya pergeseran cara bangsawan menegaskan identitas. Jika sebelumnya mereka menunjukkan legitimasi dengan busana adat penuh ornamen, kini gaya berpakaian Barat menjadi simbol modernitas, sekaligus strategi untuk bernegosiasi dengan kekuasaan kolonial.

 

Ketegangan Identitas

 

Meski fashion Barat semakin dominan, busana adat tidak sepenuhnya hilang. Dalam upacara adat dan keagamaan, bangsawan tetap mengenakan busana tradisional lengkap. Inilah yang menimbulkan dinamika unik. Di satu sisi, mereka tampil modern dalam pergaulan kolonial. Sedangkan di sisi lain, tetap menjaga tradisi dalam ruang sakral.

 

Tenaya menyebut fenomena ini sebagai bentuk hegemoni budaya. Fashion Barat berhasil masuk dan memengaruhi, namun tidak sepenuhnya menggantikan identitas tradisional Bali. Sebaliknya, busana bangsawan Bali menjadi ruang negosiasi antara tradisi dan modernitas.

 

 Yang Masih Terlihat

 

Hingga kini, warisan campuran itu masih bisa dilihat. Potret bangsawan Bali awal abad ke-20 menampilkan kebaya indah dipadukan dengan bros Eropa, atau pria dengan kamen songket lengkap namun beralas sepatu kulit. Jejak sejarah itu menunjukkan bahwa busana selalu lebih dari sekadar pakaian tetapi juga bahasa identitas, politik, dan budaya.