Dayah Aceh, Pendidikan, dan Falsafah Abadi

Aceh, di antara seni dan pendidikan
Sumber :
  • https://unsplash.com/id/foto/sekelompok-pria-yang-mengenakan-topi-hitam-dan-kuning-QkLtPgoosYM?utm_content=creditShareLink&utm_medium=referral&utm_source=unsplash

Budaya, VIVA BaliDi ujung barat Nusantara, Aceh memiliki lembaga pendidikan tradisional yang sudah berusia ratusan tahun, sebut saja Dayah. Bagi masyarakat Aceh, Dayah bukan sekadar tempat belajar agama, tetapi juga pusat pembentukan moral, budaya, dan spiritual. Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal At-Tafkir mengulas bagaimana pendidikan di Dayah dipahami melalui kacamata filsafat perennialisme atau falsafah yang menekankan nilai-nilai abadi dan tak lekang oleh zaman.

Menggali Filosofi Ruwatan dalam Tradisi Rasulan Tepus Gunungkidul

 

Dayah sebagai Universitas Rakyat

Humor dan Kritik Sosial di Panggung Teater Lenong Betawi

Dalam penelitiannya, Wildan menyebut Dayah sebagai institusi pendidikan yang memelihara tradisi Islam klasik. Kurikulumnya berpusat pada kajian kitab kuning, hafalan, diskusi, serta praktik ibadah yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. Sistem pengajaran berlangsung dengan kedekatan personal antara teungku (guru) dan santri.

 

Harmoni Tari dan Drama dalam Wayang Wong Ramayana Bali

Mengacu pada jurnal, model ini melahirkan suasana belajar yang alami, jauh dari birokrasi, tetapi kaya dengan nilai kebersahajaan. Pendidikan Dayah tidak terikat ruang kelas formal, ia menyatu dengan budaya lokal dan kehidupan masyarakat.

 

Falsafah Abadi di Balik Pendidikan Dayah

Filosofi perennialisme menekankan ajaran yang bersifat universal, abadi, dan relevan lintas zaman. Dayah, dalam pandangan peneliti, mencerminkan nilai ini. Santri tidak hanya dibekali ilmu agama, tetapi juga dilatih disiplin, kemandirian, dan akhlak mulia.

 

Penulis menegaskan bahwa pendidikan Dayah mengajarkan harmoni antara ilmu, amal, dan akhlak. Nilai-nilai seperti keikhlasan, kesederhanaan, serta pengabdian kepada masyarakat menjadi “inti kurikulum” yang tidak tertulis. Dengan kata lain, Dayah mempraktikkan pendidikan berbasis karakter jauh sebelum konsep itu populer di pendidikan modern, bahkan di tingkat tertinggi.

 

Relevansi di Era Modern

Dalam gempuran era digital dan globalisasi, pendidikan Dayah sering dianggap kuno. Namun penelitian ini justru mengungkap bahwa sistem tradisional itu tetap relevan. Nilai-nilai abadi yang diwariskan Dayah antara lain moralitas, kejujuran, dan spiritualitas. Nilai-nilai yang menjadi jawaban atas krisis karakter yang banyak dikeluhkan di dunia pendidikan kontemporer.

 

Penulis menyebut bahwa meskipun tidak semua aspek Dayah dapat langsung diterapkan dalam pendidikan modern, falsafah di baliknya perlu dihidupkan kembali. Pendidikan seharusnya bukan sekadar mengejar keterampilan teknis, tetapi juga membentuk manusia yang berkarakter.

 

Warisan yang Terus Hidup

Dayah sendiri telah melewati berbagai fase sejarah. Mulai dari masa kerajaan Islam Aceh, era kolonial, hingga Indonesia modern. Namun, nilai yang diajarkannya tetap sama, bahwa pendidikan adalah jalan menuju manusia paripurna, yang taat pada Tuhan sekaligus bermanfaat bagi sesama.

 

Seperti diulas dalam penelitian, Dayah adalah bukti nyata bahwa falsafah pendidikan Nusantara berakar pada nilai-nilai universal. Ia bukan hanya warisan masa lampau, melainkan juga inspirasi masa depan.