Tanjidor Betawi, Musik Rakyat yang Lahir dari Kolonialisme
- https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Tanjidor,_by_M_Jeffry_Hanafiah.jpg
Musik, VIVA Bali – Tanjidor adalah salah satu warisan budaya Betawi yang unik dan penuh warna. Musik ini mudah dikenali dari dentuman perkusi dan tiupan alat musik logam yang dimainkan secara beramai-ramai. Bagi masyarakat Betawi, Tanjidor bukan hanya sekadar hiburan, melainkan simbol kebersamaan dan identitas kultural yang lahir dari sejarah panjang interaksi sosial di Jakarta.
Asal-usul Tanjidor membawa kita kembali ke masa kolonial. Menurut catatan IndonesiaKaya, kata “Tanjidor” kemungkinan berasal dari bahasa Portugis tangedor yang berarti pemain musik. Pada abad ke-18 hingga 19, musik tiup ala Eropa diperkenalkan oleh Belanda dan dimainkan oleh para budak di rumah-rumah tuan tanah. Para budak inilah yang kemudian menguasai alat-alat musik Eropa, seperti klarinet, trombone, dan trompet. Setelah mereka bebas, tradisi musikal itu tidak hilang, melainkan diolah menjadi bentuk hiburan rakyat yang lebih egaliter. Dari sinilah Tanjidor berkembang menjadi milik masyarakat Betawi.
Perpustakaan Digital Budaya Indonesia menuliskan bahwa kelompok Tanjidor biasanya terdiri dari tujuh hingga sepuluh orang. Instrumen yang digunakan sebagian besar adalah alat musik tiup dan perkusi, menciptakan irama meriah yang cocok untuk mengiringi arak-arakan. Tak heran jika Tanjidor akrab dengan berbagai perayaan, mulai dari pesta pernikahan, khitanan, hingga pawai kampung. Musiknya yang enerjik membuat suasana lebih hidup, sekaligus menjadi penanda identitas komunal.
Perjalanan Tanjidor memperlihatkan bagaimana sebuah warisan kolonial bisa diolah kembali menjadi simbol lokal. Seperti informasi yang dipaparkan oleh IndonesiaKaya, Tanjidor awalnya merupakan musik kelas bawah, karena dimainkan oleh bekas budak. Namun, masyarakat Betawi mengubahnya menjadi musik kebanggaan yang hadir di ruang-ruang publik. Transformasi ini mencerminkan daya kreatif masyarakat dalam menyerap pengaruh luar tanpa kehilangan jati diri.
Lebih dari sekadar hiburan, Tanjidor adalah wadah kebersamaan. Irama riangnya mengajak orang berkumpul, menari, dan merayakan hidup bersama. Inilah yang membuat Tanjidor tetap bertahan di tengah arus modernisasi. Meski musik populer semakin dominan, Tanjidor masih dimainkan di berbagai acara budaya dan festival. Sanggar seni serta komunitas lokal kini aktif menghidupkan tradisi ini dengan melatih generasi muda, membuktikan bahwa musik tradisi masih relevan untuk masa kini.
Tantangan tentu ada. Minimnya regenerasi dan terbatasnya ruang tampil menjadi persoalan utama. Namun upaya revitalisasi terus dilakukan, baik melalui dukungan pemerintah daerah maupun inisiatif masyarakat. Jadi, ketika suara trompet, klarinet, dan gendang Tanjidor terdengar, yang hadir bukan sekadar musik pengiring pesta. Ia adalah suara kolektif masyarakat Betawi, cerita tentang perjumpaan budaya, dan simbol kebersamaan yang diwariskan lintas generasi.