Tersenyum Terus Padahal Terluka, Bahaya Positivity yang Berlebihan

Tersenyum di luar, terluka di dalam
Sumber :
  • https://www.freepik.com/free-photo/portrait-young-girl-crying-with-her-hand-covering-her-mouth_1139171.htm

Lifestyle, VIVA Bali – “Ayo semangat terus!”, “Jangan mikir negatif!”, “Senyum dong, yang penting bersyukur!”—kalimat-kalimat seperti ini mungkin terdengar baik. Namun, jika dipaksakan di tengah seseorang sedang berduka, stres, atau trauma, justru bisa menjadi jebakan emosional. Inilah yang disebut dengan toxic positivity, sebuah kondisi ketika tuntutan untuk selalu berpikir positif justru membuat seseorang menekan atau mengabaikan perasaannya yang sebenarnya valid.

Benarkah Orang Cerdas Lebih Sering Overthinking? Ini Faktanya

Dalam budaya kita, bersikap positif kerap dianggap sebagai solusi universal. Sayangnya, tidak semua situasi bisa diselesaikan hanya dengan berpikir positif. Ketika seseorang mengalami kehilangan, kegagalan, atau bahkan trauma berat, justru penting untuk mengakui rasa sakit dan luka emosional itu sebagai bagian dari proses penyembuhan. Menekan emosi negatif secara terus-menerus bisa menyebabkan penumpukan stres, rasa tidak dimengerti, bahkan menciptakan luka batin yang lebih dalam.

Banyak orang tanpa sadar melakukan toxic positivity, baik kepada dirinya sendiri maupun orang lain. Sering kali kita menolak rasa kecewa atau marah karena takut dianggap lemah. Kita menyemangati teman dengan kalimat-kalimat penyemangat tanpa memahami konteks emosinya. Di sisi lain, mereka yang mengalami trauma akhirnya merasa tidak punya ruang untuk bercerita. Mereka mulai menutup diri karena merasa perasaannya tak dianggap penting, bahkan dianggap berlebihan.

7 Kebiasaan Harian Sederhana untuk Hidup Lebih Bahagia

Dalam jangka panjang, toxic positivity bisa sangat merusak. Orang yang tidak diberi kesempatan untuk mengekspresikan kesedihan, kemarahan, atau ketakutannya, cenderung menyimpan semua emosi itu dalam diam. Akibatnya, muncul tekanan mental yang bisa berkembang menjadi gangguan psikologis seperti kecemasan kronis, depresi, atau gangguan stres pascatrauma. Tidak hanya mental, tekanan ini bahkan bisa merambat ke kondisi fisik seperti kelelahan, insomnia, hingga gangguan psikosomatik.

Fenomena ini juga sering diperparah oleh media sosial, di mana semua orang tampak bahagia, sukses, dan selalu positif. Banyak orang akhirnya membandingkan diri mereka dengan citra palsu itu dan merasa gagal jika tidak bisa selalu ceria. Padahal, kenyataan emosional setiap individu tidak bisa disamakan. Kehidupan yang sehat secara emosional justru membutuhkan ruang untuk merasakan semua emosi—baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan

6 Dampak Buruk Dibalik Romantismenya Sleepcall dengan Pasangan

Menghindari toxic positivity bukan berarti kita harus tenggelam dalam kesedihan atau menjadi pribadi yang pesimis. Justru, kita perlu menyeimbangkan antara harapan dan penerimaan. Saat sedang menghadapi masa sulit, sangat wajar jika merasa kecewa, marah, takut, atau sedih. Mengakui emosi tersebut adalah langkah awal menuju penyembuhan. Kita bisa tetap berharap dan optimis, tetapi tanpa mengabaikan kenyataan yang sedang dihadapi.

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah empati. Daripada buru-buru memberi nasihat agar seseorang tetap positif, lebih baik mendengarkan dengan penuh perhatian. Terkadang, seseorang tidak membutuhkan solusi, melainkan hanya ingin didengar dan dimengerti. Validasi emosi orang lain adalah bentuk dukungan paling nyata yang bisa kita berikan.

Halaman Selanjutnya
img_title