Kebanyakan Begadang dengan Gadget? Hati-Hati Otak Bisa Disetel Ulang!

Ilustrasi ketika seseorang menggunakan smartphone pada malam hari.
Sumber :
  • https://www.pexels.com/photo/boy-lying-on-bed-holding-smartphone-7925220/

Lifestyle, VIVA Bali – Di balik gemerlap lampu kota dan layar ponsel yang terus menyala hingga larut malam, sebuah bahaya tersembunyi mengintai keseimbangan emosional manusia. Sebuah studi mutakhir yang dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) mengungkap bahwa paparan cahaya buatan, khususnya cahaya biru, di malam hari dapat memicu perilaku menyerupai depresi melalui mekanisme biologis yang sebelumnya belum diketahui.

Budaya Minum Teh di Tiongkok yang Sarat Makna dan Filosofi

Penelitian ini dilakukan oleh kolaborasi ilmuwan dari Universitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi China, Institut Zoologi Kunming, dan Universitas Hefei. Mereka memaparkan sekelompok tikus shrew pohon yang merupakan mamalia aktif siang hari genetiknya dekat dengan primata pada cahaya biru selama dua jam setiap malam selama tiga pekan.

Hasilnya mengejutkan, Tikus-tikus tersebut menunjukkan gejala yang menyerupai depresi:

Lebih dari Sekadar Alat Makan, Filosofi di Balik Sendok dan Garpu

Minat terhadap sukrosa menurun 20% (indikasi hilangnya rasa senang),

Perilaku eksploratif menurun, dan

8 Pekerjaan yang Jarang Diminati Tapi Gajinya Besar

Memori jangka panjang terganggu.

Temuan ini menegaskan bahwa cahaya malam tidak hanya mengganggu tidur, tapi juga mempengaruhi keseimbangan emosional secara mendalam.

Yang paling menarik, para peneliti menemukan jalur saraf visual yang belum pernah dipetakan sebelumnya. Mereka mengidentifikasi bahwa sel ganglion retina khusus memproyeksikan sinyal secara langsung ke nukleus perihabenular (pHb), sebuah bagian kecil di otak yang mengatur sinyal emosional. Dari pHb, sinyal tersebut dikirimkan ke nukleus accumbens, pusat kendali mood dan motivasi dalam otak manusia.

Ketika aktivitas neuron di pHb diredam secara kimia, tikus-tikus tersebut tidak lagi menunjukkan perilaku depresi, meskipun tetap terpapar cahaya. Ini menunjukkan bahwa pHb memainkan peran krusial sebagai "penghubung" antara cahaya dan suasana hati.

Analisis lebih lanjut menggunakan teknik RNA sequencing mengungkap bahwa cahaya malam juga mengaktifkan gen-gen yang berkaitan dengan depresi. Perubahan ekspresi genetik ini membuka peluang riset lebih jauh tentang efek jangka panjang dari pencahayaan buatan terhadap otak manusia.

Profesor Yao Yonggang, salah satu peneliti utama, menyampaikan bahwa temuan ini bukan hanya sekadar hasil laboratorium, tapi juga menjadi peringatan penting bagi gaya hidup modern.

“Cahaya yang membuat kita produktif di malam hari, bisa saja secara diam-diam sedang menyetel ulang sirkuit otak kita. Tapi sekarang kita tahu ke mana harus mencari solusinya.”

Dengan semakin meluasnya polusi cahaya dan penggunaan perangkat elektronik pada malam hari, dampak terhadap kesehatan mental bisa menjadi krisis tersembunyi dalam masyarakat urban.

Temuan ini membuka jalan untuk pengembangan intervensi terarah, baik melalui teknologi pencahayaan yang lebih aman bagi otak, hingga terapi yang menargetkan jalur saraf tertentu untuk mencegah gangguan mood akibat cahaya buatan.

Sebagai langkah awal, para ahli menyarankan masyarakat untuk mengurangi paparan cahaya biru di malam hari, menggunakan mode malam pada perangkat elektronik, dan mempertimbangkan pencahayaan yang lebih hangat saat menjelang tidur.

Penelitian ini menjadi pengingat bahwa tidur nyenyak dalam gelap bukan sekadar tradisi kuno, tapi kebutuhan biologis. Cahaya biru yang tampak sepele ternyata memiliki kuasa untuk menyusup ke dalam otak kita untuk mengatur emosi, memengaruhi pikiran, bahkan mungkin memicu gangguan psikologis jika terus dibiarkan.