Tenun Gringsing Bali Warisan Budaya Langka dan Bernilai Tinggi
- https://www.freepik.com/free-photo/cutting-ethnic-carpet-with-scissors_9829783.htm
Budaya, VIVA Bali – Tenun Geringsing atau Gringsing merupakan satu-satunya kain tenun tradisional Indonesia yang dibuat menggunakan teknik dobel ikat dan membutuhkan waktu pembuatan antara 2 tahun hingga 5 tahun. Tenun Gringsing adalah warisan budaya Bali yang menonjolkan kesenian menenun kain dengan teknik ikat ganda, sebuah metode yang sangat langka dan hanya ada di beberapa tempat di dunia, yaitu Jepang dengan kain kurume dan India dengan kain patola. Ciri khas tenun Gringsing terlihat pada motif ganda yang terjalin sempurna, menciptakan pola simetri yang indah dan khas.
Kerajinan kain tenun Gringsing berasal dari Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali dan diproduksi secara tradisional oleh masyarakat setempat. Masyarakat Tenganan biasanya memiliki kain Gringsing yang berusia ratusan tahun, yang digunakan dalam upacara-upacara khusus. Nama Gringsing berasal dari gabungan kata “gring” yang berarti sakit dan “sing” yang berarti tidak, sehingga secara harfiah berarti tidak sakit, melambangkan fungsi kain ini sebagai penolak bala. Kain Gringsing dianggap sakral dan memiliki peran penting dalam berbagai upacara adat Bali, termasuk upacara potong gigi, pernikahan, dan ritual keagamaan lainnya, di mana kain ini dijadikan simbol perlindungan dan kesejahteraan bagi masyarakat yang menggunakannya.
Tenun Gringsing memiliki sejarah yang erat dengan kepercayaan masyarakat Bali. Konon, kain ini lahir dari kekaguman Dewa Indra, sang raja kahyangan, terhadap keindahan langit malam. Dewa Indra kemudian memberikan keahlian menenun kepada rakyat terpilih dari Tenganan, agar mereka dapat menggambarkan keindahan matahari, bulan, bintang, dan langit malam melalui tenun. Itulah sebabnya, kain Gringsing memiliki warna gelap dan pekat, menyerupai langit di malam hari. Selain itu, kain tenun Gringsing juga disebut dalam Kakawin Nagarakretagama karya Empu Prapañca, yang menyebutkan bahwa tirai-tirai pada salah satu kereta kencana Hayam Wuruk, Sri Nata Wilwatikta, terbuat dari kain Gringsing. Menurut penulis Urs Ramseyer dalam tulisannya “Clothing, Ritual and Society in Tenganan Pegeringsingan Bali” tahun 1984, terdapat kemungkinan bahwa masyarakat Tenganan dahulu merupakan perantau dari India yang membawa teknik ikat ganda dari kain tenun Patola melalui pelayaran dari Orrisa atau Andhra Pradesh.
Proses pembuatan Tenun Gringsing seluruhnya dilakukan dengan tangan menggunakan alat tenun gedogan atau alat tenun bukan mesin untuk membantu menahan dan merapikan benang. Benang yang digunakan berasal dari tanaman kapuk Nusa Penida dan dipintal secara tradisional, lalu direndam dalam minyak kemiri dari hutan Tenganan selama 40 hari hingga satu tahun untuk meningkatkan penetrasi warna, menambah kilau, melembutkan, dan melindungi serat benang. Setelah kering, benang diikat membentuk pola motif sesuai tradisi, biasanya terdiri dari dua warna motif dan satu warna dasar. Pencelupan dimulai dengan warna biru sebagai warna dasar menggunakan pewarna alami di Desa Bugbug. Setelah kering, beberapa ikatan dibuka untuk memberi warna merah dari akar mengkudu, diulang dan diamati selama beberapa bulan hingga warna pekat sesuai keinginan, sehingga warna biru dasar berubah menjadi hitam setelah terkena merah. Ikatan terakhir dibuka untuk memberikan warna kuning dari minyak kemiri, kemudian benang dicelup dengan air nasi agar lebih kuat. Secara tradisi, Tenun Gringsing hanya menggunakan tiga warna, yaitu merah, kuning, dan hitam. Merah melambangkan api, kuning melambangkan udara, dan hitam melambangkan air, membentuk konsep tridatu yang mencerminkan keseimbangan tiga elemen penting dalam kehidupan.
Selain proses pewarnaannya yang memakan waktu bertahun-tahun, motif Tenun Gringsing memikat dengan makna simbolis, melambangkan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan. Enam motif utama yang diwariskan turun-temurun antara lain Lubeng (kalajengking), Sanan Empeg (kotak-kotak), Cecempakaan (bunga cempaka), Cemplong (bunga besar dan kecil), Wayang (tokoh pewayangan kebo dan putri), serta Tuung Batun (biji terong). Bagi penduduk lokal, kain ini menjadi salah satu benda yang wajib dimiliki. Wanita mengenakannya sebagai selendang, sementara pria memanfaatkannya sebagai ikat pinggang, terutama dalam upacara adat dan acara-acara penting. Meskipun bernilai budaya tinggi, Tenun Gringsing tergolong langka dan mahal, dengan harga belasan hingga puluhan juta rupiah. Kerajinan ini terancam karena prosesnya rumit, sedikit generasi muda yang menekuni, dan persaingan dengan tekstil modern.