YGSI Dorong Penanganan Kasus Perkawinan Anak di Tingkat Desa

YGSI Dorong Penanganan Kasus Perkawinan Anak di Tingkat Desa
Sumber :
  • Ida Rosanti/VIVA Bali

Lombok Tengah, VIVA Bali – Yayasan Gemilang Sehat Indonesia sebelumnya bernama Ruang Temu Generasi Sehat (Rutgers) Indonesia mendorong penanganan kasus perkawinan anak di Kabupaten Lombok Tengah diselesaikan di tingkat desa.

Sejauh ini, pemerintah desa dinilai kurang berperan di dalam penanganan kasus perkawinan anak. Hal ini menjadi salah satu penyebab tingginya kasus perkawinan anak di Lombok Tengah. 

"Kami berharap di tingkat desa ada mekanisme atau penyelesaian sendiri di dalam menghadapi kasus perkawinan anak. Karena di tingkat desa sudah ada Babinkamtibmas, Babinsa, lembaga adat desa, tokoh agama, tokoh masyarakat dan juga ada forum anak tingkat desa," ujar perwakilan YGSI Nurjihatul Rizkiah usai kegiatan penguatan alur penanganan kasus perkawinan anak di tingkat desa, Selasa, 17 Juni 2025 di Praya.

Rizkiah melanjutkan, trend kasus perkawinan anak di Lombok Tengah mengalami peningkatan di tahun 2025. Di bulan Mei lalu bahkan terjadi lima kasus perkawinan anak di satu desa dan dua kasus dalam satu hari saja. Untuk mencegah hal itu terjadi lagi, YGSI yang berfokus pada upaya pencegahan kekerasan berbasis gender dan isu hak kesehatan seksual ingin melakukan evaluasi terhadap alur penanganan perkawinan anak.

"Apa yang salah, gitu kan. Makanya kita buat kegiatan untuk mengevaluasi alur layanan ini. Sebenarnya ini salahnya di mana. Ini dihadiri Kadus, kades dan sejumlah pihak terkait," katanya.

Kegiatan tersebut juga digelar karena UPTD PPA Lombok Tengah kelimpungan dalam menangani laporan kasus perkawinan anak yang mengalami lonjakan pasca perkawinan anak yang viral belum lama ini. Perkawinan anak yang viral tersebut dilaporkan ke polisi oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) dan membuat takut masyarakat di tingkat bawah.

"Biar tidak numpuk kasusnya di tingkat kabupaten di UPTD PPA. Karena kabupaten sumber dayanya sedikit dengan begitu banyak laporan dari desa yang ditangani," imbuh Rizkiah.

Di samping itu, setiap desa sudah memiliki anggaran yang bisa dimanfaatkan untuk menangani kasus perkawinan anak. Adapun alur penangannya adalah adanya laporan masyarakat mengenai anak yang berencana menikah itu lebih dulu dimediasi dan dibatalkan di tingkat Kadus. Kalau tidak bisa diselesaikan maka dilanjutkan ke tingkat desa.  Ketika tidak bisa diselesaikan di tingkat desa baru dilanjutkan ke UPTD PPA.

"Jadi sebisa mungkin desa ini menyelesaikan kasusnya sendiri dengan sumber daya yang ada," katanya.

Dalam penanganan kasus perkawinan anak ini, pemerintah desa bisa mengacu pada Undang-undang, Peraturan Gubernur dan juga Peraturan Bupati yang secara khusus mengatur tentang pencegahan perkawinan anak.  Selain itu, beberapa desa di Lombok Tengah juga sudah memiliki peraturan desa tentang penanganan kasus perkawinan anak. Peraturan tersebut bisa dirujuk oleh desa lain di dalam menangani kasus yang sama di desanya.

Sementara itu, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB Joko Jumadi yang menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut mengatakan, kasus perkawinan anak di NTB saat ini mencapai 14,5 persen, terbanyak di Kabupaten Lombok Timur kemudian Lombok Tengah lalu Lombok Barat. 

"Ini persoalan berantai. Putus sekolah menyebabkan perkawinan anak. Perkawinan anak menyebabkan putus sekolah dan juga menjadi penyebab kemiskinan. Masalah ini akan semakin besar kalau tidak dituntaskan," kata Joko.

Dalam kesempatan itu, dia juga menyinggung mengenai para kadus yang sebenarnya tidak ingin memfasilitasi perkawinan anak. Namun harus berhadapan dengan masyarakat luas yang kukuh ingin menikahkan anak-anaknya.

Terkait hal ini,  dia mengatakan ada beberapa hal yang bisa dilakukan di tingkat desa. Hal pertama adalah mengupayakan tindakan pencegahan dengan pembelasan (pemisahan) kedua anak agar tidak terjadi perkawinan anak. 

Kemudian di dalam adat Sasak ada budaya kawin gantung yang masih diterapkan di Lombok Tengah. Kawin gantung berarti calon pengantin bisa dinikahkan namun setelah dinikahkan tidak langsung diizinkan untuk tinggal bersama. Melainkan tinggal di rumah orang tua masing-masing dan melanjutkan sekolah hingga tamat.

"Hal ini bisa menjadi salah satu alternatif. Kemarin sebenarnya saya berharap kasus perkawinan anak yang ada di Praya Timur itu bisa dilakukan hal seperti itu. Biarkan sudah menikah karena sudah terjadi. Tapi biarkan anak-anak ini tetap bersama orang tua masing-masing. Mereka bisa sekolah dulu dan bersama dengan orangtuanya. Itu bisa dimungkinkan," jelas Joko.

Kemudian pilihan ketiga adalah mengajukan dispensasi nikah. Proses pengajuan dispensasi nikah ini dilakukan berjenjang, tidak hanya di tingkat dusun namun dilanjutkan ke tingkat desa. Kalau tidak bisa diselesaikan barulah ke tingkat kecamatan atau langsung ke tingkat kabupaten.

"Jangan dari UPTD langsung melakukan intervensi di desa tanpa di desa melakukan upaya penyelesaian lebih dulu," tandasnya.