YGSI Dorong Penanganan Kasus Perkawinan Anak di Tingkat Desa
- Ida Rosanti/VIVA Bali
Di samping itu, setiap desa sudah memiliki anggaran yang bisa dimanfaatkan untuk menangani kasus perkawinan anak. Adapun alur penangannya adalah adanya laporan masyarakat mengenai anak yang berencana menikah itu lebih dulu dimediasi dan dibatalkan di tingkat Kadus. Kalau tidak bisa diselesaikan maka dilanjutkan ke tingkat desa. Ketika tidak bisa diselesaikan di tingkat desa baru dilanjutkan ke UPTD PPA.
"Jadi sebisa mungkin desa ini menyelesaikan kasusnya sendiri dengan sumber daya yang ada," katanya.
Dalam penanganan kasus perkawinan anak ini, pemerintah desa bisa mengacu pada Undang-undang, Peraturan Gubernur dan juga Peraturan Bupati yang secara khusus mengatur tentang pencegahan perkawinan anak. Selain itu, beberapa desa di Lombok Tengah juga sudah memiliki peraturan desa tentang penanganan kasus perkawinan anak. Peraturan tersebut bisa dirujuk oleh desa lain di dalam menangani kasus yang sama di desanya.
Sementara itu, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB Joko Jumadi yang menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut mengatakan, kasus perkawinan anak di NTB saat ini mencapai 14,5 persen, terbanyak di Kabupaten Lombok Timur kemudian Lombok Tengah lalu Lombok Barat.
"Ini persoalan berantai. Putus sekolah menyebabkan perkawinan anak. Perkawinan anak menyebabkan putus sekolah dan juga menjadi penyebab kemiskinan. Masalah ini akan semakin besar kalau tidak dituntaskan," kata Joko.
Dalam kesempatan itu, dia juga menyinggung mengenai para kadus yang sebenarnya tidak ingin memfasilitasi perkawinan anak. Namun harus berhadapan dengan masyarakat luas yang kukuh ingin menikahkan anak-anaknya.
Terkait hal ini, dia mengatakan ada beberapa hal yang bisa dilakukan di tingkat desa. Hal pertama adalah mengupayakan tindakan pencegahan dengan pembelasan (pemisahan) kedua anak agar tidak terjadi perkawinan anak.