Sastra Bali Klasik yang Penuh Warisan Moral

Ilustrasi aksara, pengisi sastra Bali kuna
Sumber :
  • https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Enschede-Double_Descendian_Bali_letters_by_Gottlieb_Schlegelmilch_and_Hendrik_Kern.jpg

Gumi Bali, VIVA Bali – Di tengah derasnya arus globalisasi yang membawa budaya digital dan gaya hidup instan, warisan sastra klasik Bali seperti geguritan, kakawin, dan kidung ternyata masih menyimpan napas kehidupan yang hangat. Tidak hanya sekadar rangkaian kata indah, karya-karya sastra itu adalah cermin kebijaksanaan leluhur yang menuntun masyarakat menuju kehidupan yang harmonis dan beretika.

 

 

Dalam penelitiannya, I Nengah Duija menyoroti bagaimana sastra Bali klasik menyimpan nilai-nilai didaktik. Dalam kata lain, ajaran moral yang dikemas dalam bentuk sastra. Ajaran yang dulu menjadi panduan perilaku masyarakat tradisional. “Sastra Bali bukan sekadar hiburan,” tulis Duija, “melainkan media pendidikan karakter yang mengajarkan kebenaran, kesetiaan, dan keseimbangan hidup.” Nilai-nilai itu lahir dari pandangan hidup masyarakat Bali yang berlandaskan Tri Hita Karana.

 

 

Salah satu contoh yang ia bahas adalah geguritan Jayaprana, kisah tragis cinta dan kesetiaan seorang rakyat jelata kepada rajanya. Dalam cerita itu, Duija menemukan ajaran moral yang menekankan pentingnya kejujuran, pengabdian, dan kesetiaan, bahkan dalam situasi penuh penderitaan. Kisah ini mengajarkan bahwa kebajikan sejati tidak diukur dari status sosial, tetapi dari ketulusan hati.