Ramuan Suku Mee dan Variasi Apotek Hidup dari Papua
- https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/a/a1/Vrolijke_Kepaukoe-vrouwen_in_Enaroltali%2C_de_bestuurspost_aan_de_Wisselmeren%2C_Bestanddeelnr_143-0830.tif
Budaya, VIVA Bali –Di tanah Papua yang subur, hutan bukan hanya bentangan pepohonan raksasa yang menjulang ke langit. Bagi masyarakat Suku Mee yang mendiami Distrik Kamuu, Kabupaten Dogiyai, hutan adalah “apotek hidup” yang menyediakan solusi bagi hampir setiap penyakit. Alam bagi mereka bukan sekadar tempat mencari makan, melainkan ruang hidup yang menyimpan pengetahuan, kearifan, dan kepercayaan yang diwariskan turun-temurun.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Boma, Mote, dan Kogoya pada 2018 mendokumentasikan pengetahuan tradisional Suku Mee dalam memanfaatkan tumbuhan sebagai obat. Hasilnya menunjukkan, masyarakat Mee mengenal puluhan jenis tanaman yang berfungsi sebagai penyembuh. Daun direbus menjadi ramuan penurun panas, akar digiling untuk mengobati luka, sementara kulit kayu diolah menjadi baluran untuk sakit perut. Setiap bagian tanaman memiliki fungsi berbeda, dan pengolahan dilakukan sesuai resep yang diwariskan secara lisan dari orang tua kepada anak-anaknya.
Lebih dari sekadar keterampilan teknis, pengolahan tumbuhan obat di kalangan Suku Mee sarat makna spiritual. Mereka meyakini bahwa alam adalah entitas hidup yang patut dihormati. Karena itu, proses pengambilan tumbuhan biasanya diawali dengan doa atau ritual kecil. Ada larangan menebang pohon sembarangan, ada pula aturan untuk tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan. Kesadaran ini menunjukkan filosofi hidup yang menekankan keseimbangan antara manusia dan lingkungannya.
Praktik tersebut juga berfungsi sebagai mekanisme sosial. Dalam masyarakat Mee, pengetahuan tentang tumbuhan obat sering dibagikan dalam forum kekeluargaan atau ketika seseorang sakit. Dengan demikian, ramuan tradisional bukan hanya menyembuhkan tubuh, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial. Setiap kali seorang tetua meracik ramuan, ada nilai edukatif yang disampaikan kepada generasi muda. Yakni, tentang bagaimana menjaga alam, menghargai leluhur, dan merawat sesama.
Namun, di tengah derasnya arus modernisasi, tradisi ini menghadapi tantangan. Generasi muda di Dogiyai, seperti halnya di banyak daerah lain, kini lebih familiar dengan produk farmasi modern yang praktis. Tumbuhan obat sering dianggap kuno atau kurang efektif. Padahal, banyak penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan oleh masyarakat adat memiliki kandungan farmakologis yang berpotensi dikembangkan menjadi obat modern. Jika pengetahuan ini dibiarkan hilang, kita bukan hanya kehilangan warisan budaya, tetapi juga potensi besar bagi dunia kesehatan.
Kisah Suku Mee memberi pelajaran berharga tentang pentingnya menghargai kearifan lokal. Ramuan tradisional mereka adalah bukti bahwa manusia dapat hidup berdampingan dengan alam secara harmonis, tanpa merusaknya. Dalam setiap rebusan daun dan serbuk akar, tersimpan filosofi ekologis, bahwa kesejahteraan manusia bergantung pada keseimbangan dengan lingkungan.
Di tengah isu global tentang krisis iklim dan eksploitasi sumber daya alam, praktik pengobatan tradisional Suku Mee justru relevan. Ia mengingatkan kita bahwa solusi sering kali sudah ada di sekitar, hanya perlu dirawat dan dijaga. Mungkin inilah “obat” paling mujarab dari Papua yang bukan sekadar ramuan penyembuh tubuh, tetapi kearifan hidup yang mengajarkan kita arti keselarasan antara manusia, budaya, dan alam.