Ekowisata Berbasis Komunitas, Model Pariwisata Berkelanjutan yang Menghidupkan Kembali Desa Tua di Kintamani

Danau Batur, surga di kaki gunung
Sumber :
  • https://dynamic-media-cdn.tripadvisor.com/media/photo-o/0b/45/e3/41/danau-batur.jpg?w=1200&h=-1&s=1

Wisata, VIVA Bali – Kintamani, Bali, terkenal dengan pemandangan Gunung Batur dan Danau Batur yang memesona. Namun, di balik daya tarik alamnya, tersimpan desa-desa tua yang kaya budaya namun kerap menghadapi tantangan ekonomi dan migrasi generasi muda.

Pantai Soan Galuh Menyembunyikan Pesona yang Jarang Tersentuh

Di sinilah model Ekowisata Berbasis Komunitas (Community-Based Ecotourism - CBET) muncul sebagai solusi berkelanjutan, bukan hanya melestarikan alam dan budaya, tetapi juga menghidupkan kembali denyut nadi desa-desa kuno di Kintamani.

Desa Tua Kintamani: Permata Tersembunyi yang Sempat Pudar

Desa-desa tua seperti Pinggan, Songan, Batur Selatan, atau Trunyan menyimpan warisan unik. Arsitektur tradisional Bali Aga, ritual adat yang sakral, pertanian organik berbasis lereng gunung, kerajinan tangan lokal, serta filosofi hidup selaras dengan alam (Tri Hita Karana) menjadi kekayaan tak ternilai.

Zest Ubud, Destinasi Kuliner Vegan yang Wajib Dicoba di Jantung Bali!

Sayangnya, desa-desa ini seringkali hanya menjadi "latar belakang" bagi wisatawan yang berfokus ke pemandangan, tanpa manfaat ekonomi signifikan langsung ke masyarakat. Akibatnya, banyak pemuda memilih merantau, mengancam kelangsungan tradisi dan kehidupan desa.

Ekowisata Berbasis Komunitas: Kekuatan di Tangan Lokal

Model CBET mengubah paradigma. Intinya adalah:

Surfing di Bali, Bukan Cuma Kejar Ombak

1. Kepemilikan dan Pengelolaan oleh Komunitas: Masyarakat desa bukan hanya objek, tapi pemilik dan pengelola utama kegiatan wisata. Mereka membentuk kelompok (Pokdarwis - Kelompok Sadar Wisata) yang merencanakan, menjalankan, dan mengawasi kegiatan.

2. Fokus pada Kelestarian: Kegiatan wisata dirancang untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan (ekosistem Danau Batur, hutan) dan budaya (ritual, tata ruang desa).

3. Pemberdayaan Ekonomi Langsung: Pendapatan dari homestay, pemandu wisata lokal, penjualan kerajinan, kuliner tradisional, dan tiket masuk mengalir langsung ke kantung warga dan kas desa untuk pembangunan.

4. Pengalaman Otentik dan Edukatif: Wisatawan diajak mengalami kehidupan desa sebenarnya – ikut menanam kopi atau sayur organik, belajar membuat canang sari, menyaksikan tari tradisional dalam konteks aslinya, trekking dengan pemandu lokal yang paham sejarah dan ekologi, atau menginap di homestay sederhana milik warga.

Manfaat Nyata yang Mengalir ke Desa

Implementasi CBET di beberapa desa Kintamani mulai menunjukkan dampak positif:

1. Peningkatan Pendapatan: Warga memiliki sumber penghasilan alternatif selain pertanian. Homestay, pemanduan, dan penjualan produk lokal menjadi sumber ekonomi baru.

2. Pelestarian Budaya: Minat wisatawan terhadap tradisi lokal mendorong generasi muda untuk belajar dan melestarikan adat istiadat, tarian, musik, dan kerajinan tradisional yang hampir punah.

3. Pelestarian Lingkungan: Kesadaran bahwa alam (Danau Batur, hutan, lahan pertanian terasering) adalah aset wisata utama mendorong praktik pertanian organik dan upaya konservasi yang lebih kuat oleh masyarakat sendiri. Program penanaman pohon dan pengelolaan sampah berbasis desa mulai bermunculan.

4. Penguatan Kelembagaan Lokal: Pokdarwis menjadi wadah belajar organisasi, manajemen, dan negosiasi bagi warga desa, meningkatkan kapasitas dan rasa percaya diri.

5. Pengurangan Urbanisasi: Adanya lapangan kerja dan penghasilan di desa membuat pemuda lebih memilih tinggal dan membangun kampung halaman.

Desa Pinggan Bangkit melalui Kopi dan Budaya

Desa Pinggan, terletak di pinggir kaldera Gunung Batur, menjadi contoh nyata kesuksesan CBET. Melalui kelompok "Sekaa Manyi Pinggan", warga mengembangkan paket wisata unggulan:

1. "Coffee & Culture Experience": Wisatawan diajak memetik ceri kopi Arabika Kintamani di kebun warga, mengikuti proses pengolahan tradisional (pulping, fermentasi, penjemuran), menyangrai, hingga mencicipi kopi segar sambil menikmati pemandangan kaldera. Semua dipandu oleh petani kopi setempat.

2. Homestay Tradisional: Menginap di rumah warga, merasakan keramahan dan kehidupan sehari-hari keluarga Pinggan.

3. Pertanian Organik & Budaya: Mengunjungi kebun sayur organik terasering, belajar membuat sesajen (banten), dan menyaksikan upacara adat jika bertepatan.

Tantangan dan Masa Depan

Meski menjanjikan, pengembangan CBET di Kintamani menghadapi tantangan:

1. Kapasitas Manajemen: Perlunya pelatihan berkelanjutan bagi Pokdarwis dalam pemasaran digital, administrasi keuangan, pelayanan prima, dan manajemen risiko.

2. Infrastruktur Dasar: Akses jalan menuju beberapa desa, ketersediaan air bersih, dan pengelolaan sampah yang memadai masih perlu perhatian.

3. Pemasaran dan Akses Pasar: Mendobrak dominasi operator wisata besar dan menjangkau pasar wisatawan yang tertarik pada pengalaman otentik membutuhkan strategi digital yang kuat dan jaringan.

4. Menjaga Keseimbangan: Menjaga keseimbangan antara jumlah kunjungan, keaslian pengalaman, dan kelestarian lingkungan/budaya membutuhkan aturan main yang jelas dan disiplin dari komunitas.

Merajut Masa Depan dari Akar Tradisi

Ekowisata Berbasis Komunitas di Kintamani bukan sekadar tren pariwisata, tetapi sebuah model pembangunan berkelanjutan yang memulihkan martabat, ekonomi, dan warisan desa-desa tua. Dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama, model ini menjamin bahwa manfaat pariwisata mengalir langsung ke akar rumput, sekaligus menjadi insentif kuat bagi mereka untuk menjaga alam dan budaya yang menjadi daya tarik utamanya.

Dukungan dari pemerintah daerah, LSM, dan wisatawan yang bertanggung jawab sangat vital untuk memperkuat model ini. Dengan demikian, desa-desa tua di Kintamani tidak hanya menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu, tetapi dapat bertransformasi menjadi komunitas yang hidup, mandiri, dan bangga akan identitasnya, berdenyut beriringan dengan kelestarian alam Gunung Batur yang megah.

Wisatawan pun mendapatkan pengalaman yang jauh lebih dalam, bermakna, dan berkesan: bukan hanya melihat keindahan, tapi juga menjadi bagian dari kehidupan dan upaya pelestariannya.