Mengenal Zine yang Mengubah Ide-Ide Kecil Jadi Besar
- https://www.freepik.com/free-photo/woman-s-hands-with-magazine_933063.
Gaya Hidup, VIVA Bali –Kalau dulu zine identik dengan anak punk yang doyan menempel gambar, menulis kritik sosial dengan spidol, lalu menggandakan lewat mesin fotokopi, kini wujudnya justru masuk ke ruang kelas kampus. Lalu siapa sangka, buku mini DIY ini malah jadi alat belajar yang mengubah cara pandang mahasiswa tentang keadilan sosial.
Dari Tugas Biasa ke Proyek Kreatif
Di kelas “Social Justice in Social Work”, para mahasiswa awalnya mengira akan menghadapi tugas klasik. Seperti esai panjang, catatan teori, atau ujian. Tapi Moshoula Desyllas dan Allison Sinclair punya ide berbeda, mahasiswa mereka diminta membuat zine.
Awalnya banyak yang bingung, bahkan cemas. “Apakah saya cukup kreatif?” pikir sebagian mahasiswa. Namun begitu mulai menempelkan potongan gambar, menulis puisi, hingga menuangkan pengalaman pribadi tentang diskriminasi, suasana berubah. Tugas yang tadinya terasa asing, justru jadi ruang berekspresi bebas.
Seni sebagai Bahasa Perlawanan
Zine memang bukan barang baru. Ia lahir sejak 1920-an, berkembang lewat komunitas fanzine sains fiksi di era 30-an, hingga meledak bersama kultur punk dan riot grrrl di tahun 70–90-an. Kental dengan kesan mandiri, blak-blakan, dan anti-sensor.
Di kelas ini, zine menjadi medium untuk bicara soal isu berat seperti rasisme, seksisme, hingga ageisme. Tapi karena tampil lewat kolase, humor, bahkan komik, pesannya jadi lebih dalam dan mudah dipahami.