Bahaya Ketergantungan Teknologi pada Kesehatan Mental Remaja Indonesia
- https://www.forbes.com/sites/alisonescalante/2024/12/10/social-media-platforms-keep-kids-online-despite-mental-health-harms/
Kesehatan, VIVA Bali – Generasi Z, atau Gen Z, yang tumbuh di era digital, sering kali disebut sebagai "digital native." Mereka akrab dengan berbagai platform media sosial, game online, dan dunia maya lainnya. Namun, kemudahan akses teknologi ini ternyata membawa dampak buruk yang tidak disadari, terutama pada kesehatan mental remaja di Indonesia. Ketergantungan yang berlebihan pada teknologi membuat mereka menjadi kelompok yang rentan terhadap berbagai masalah psikologis.
Dikutip dari laman siloamhospitals, Efek negatif sosial media terhadap kesehatan mental remaja sangat erat kaitannya dengan citra tubuh. Ketika seorang remaja membandingkan diri mereka dengan foto atau konten orang lain yang ada di media sosial, baik itu temannya ataupun selebriti, mereka mungkin akan merasa rendah diri.
Kecemasan dan Depresi yang Meningkat
Salah satu dampak paling nyata dari ketergantungan teknologi adalah meningkatnya tingkat kecemasan dan depresi. Media sosial sering kali menjadi panggung untuk memamerkan kehidupan yang ideal, pencapaian, dan penampilan fisik yang sempurna. Hal ini memicu "social comparison" atau perbandingan sosial, di mana remaja Gen Z membandingkan diri mereka dengan orang lain. Mereka merasa tertinggal, kurang berharga, atau tidak cukup baik, yang pada akhirnya dapat memicu perasaan sedih, cemas, dan bahkan depresi.
Selain itu, tekanan untuk selalu terhubung dan merespons pesan atau notifikasi juga menciptakan kecemasan tersendiri. Rasa takut ketinggalan informasi atau "Fear of Missing Out" (FoMO) membuat mereka terus-menerus mengecek ponsel, bahkan di waktu istirahat. Siklus ini mengganggu kualitas tidur, konsentrasi, dan interaksi sosial di dunia nyata.
Cyberbullying dan Pelecehan Daring
Dunia maya juga tidak luput dari sisi gelapnya. Cyberbullying atau perundungan siber menjadi ancaman serius bagi kesehatan mental remaja. Pelecehan, hinaan, dan penyebaran rumor melalui media sosial dapat dengan cepat menyebar dan meninggalkan luka psikologis yang dalam. Korban perundungan daring sering kali merasa tidak berdaya karena pelaku bisa bersembunyi di balik anonimitas. Dampaknya bisa berupa trauma, rendah diri, hingga keinginan untuk mengakhiri hidup.
Isolasi Sosial di Tengah Keramaian Virtual
Meskipun terhubung dengan ribuan teman di dunia maya, banyak remaja Gen Z yang sebenarnya merasa terisolasi secara sosial. Waktu yang seharusnya digunakan untuk berinteraksi tatap muka dengan keluarga atau teman kini dihabiskan di depan layar. Mereka mungkin mahir berkomunikasi melalui teks atau emoji, tetapi kesulitan membangun hubungan emosional yang mendalam di kehidupan nyata. Kurangnya interaksi sosial yang bermakna ini dapat membuat mereka merasa kesepian, tidak dipahami, dan kehilangan dukungan emosional yang penting.
Langkah Mitigasi dan Solusi
Untuk mengatasi krisis kesehatan mental ini, diperlukan upaya kolaboratif dari berbagai pihak. Orang tua harus menjadi garda terdepan dengan membatasi waktu penggunaan gadget, mendorong kegiatan di luar ruangan, dan menjalin komunikasi terbuka dengan anak. Sekolah dapat mengintegrasikan pendidikan kesehatan mental dan literasi digital dalam kurikulum, mengajarkan siswa cara menggunakan teknologi secara bijak dan aman.
Selain itu, penting bagi remaja itu sendiri untuk menyadari bahaya ini dan mulai mempraktikkan "digital detox" atau puasa digital secara berkala. Menghabiskan waktu untuk hobi, berolahraga, atau sekadar berbincang dengan teman dan keluarga tanpa gangguan ponsel dapat membantu mengembalikan keseimbangan hidup. Intinya, teknologi adalah alat, bukan penguasa. Kita harus belajar mengendalikannya agar tidak sampai mengorbankan hal paling berharga, yaitu kesehatan mental dan kebahagiaan.