Hustle Culture, Gaya Hidup Produktif atau Perangkap Kesehatan Mental?

Budaya Organisasi dan Kontribusinya
Sumber :
  • https://images.pexels.com/photos

Lifestyle, VIVA Bali – Hustle culture atau budaya giat kerja adalah tren gaya hidup yang mendorong seseorang untuk terus bekerja tanpa henti demi mengejar kesuksesan. Budaya ini mengagungkan produktivitas ekstrem, bahkan sampai mengorbankan waktu istirahat, kesehatan mental, dan keseimbangan hidup.

Dampak Kesehatan Tidur dengan Lampu Menyala

Fenomena hustle culture berkembang terutama di kalangan generasi milenial dan Gen Z. Gaya hidup ini tumbuh seiring meningkatnya kompetisi kerja dan tekanan untuk menjadi “versi terbaik diri” melalui kerja keras tanpa jeda.

Istilah hustle culture diperkenalkan pertama kali oleh Wayne Oates pada 1971 lewat buku Confessions of a Workaholic. Dalam praktiknya, budaya ini makin populer sejak era startup digital, yang dipimpin tokoh seperti Elon Musk dan Jack Ma. Mereka menjadi simbol kerja 24/7 demi impian dan pertumbuhan bisnis.

Bahaya Mengonsumsi Makanan Gosong, Bisa Picu Kanker

Dikutip dari laman EF Indonesia, hustle culture mendorong seseorang untuk memprioritaskan kerja di atas aspek penting lain seperti relasi sosial, istirahat, atau kesehatan diri

Beberapa faktor yang memperkuat budaya hustle:

Awas! Jangan Keseringan Korek Kuping dengan Cotton Bud, Ini Bahayanya

1. Kemajuan teknologi yang membuat pekerjaan dapat diakses kapan saja.

2. Media sosial yang membentuk citra “produktif = sukses”.

3. Konstruksi sosial yang menilai kesuksesan dari status dan kekayaan.

4. Toxic positivity, yakni dorongan untuk tetap semangat meskipun burnout.

Sumber dari Jobstreet menyebut bahwa dorongan ini menciptakan ilusi bahwa semakin sibuk seseorang, semakin bernilai hidupnya.

Berdasarkan jurnal ilmiah Al-Kalam (Vol.11 No.1/2024), individu yang terjebak dalam hustle culture menunjukkan gejala stres kronis, kelelahan mental, serta penurunan kesejahteraan psikologis. Tanda-tanda umum meliputi:

- Merasa bersalah saat istirahat

- Selalu memikirkan pekerjaan

- Tidak dapat menikmati waktu luang

- Gangguan fisik seperti migrain, insomnia, atau masalah pencernaan

Hustle culture tidak hanya dipicu individu, tetapi juga dilembagakan oleh sistem kerja. Beberapa perusahaan memberikan penghargaan kepada pegawai yang lembur lebih lama, tetapi tidak memperhatikan keseimbangan kerja-hidup. Akibatnya, banyak pekerja merasa harus bersaing dalam “siapa yang paling sibuk”.

Agar tidak terjebak dalam budaya kerja berlebihan, individu dan organisasi dapat melakukan langkah berikut:

1. Tetapkan jam kerja dan istirahat secara tegas

2. Hargai waktu luang dan libur sebagai hak, bukan kemewahan

3. Tidak membandingkan pencapaian diri dengan orang lain

4. Fokus pada hasil berkualitas, bukan kuantitas waktu

5. Ciptakan budaya kantor yang sehat dan inklusif

Budaya hustle mungkin tampak menggiurkan karena menjanjikan kesuksesan instan. Namun dalam jangka panjang, efeknya bisa merusak. Menjadi produktif itu baik, tetapi bukan berarti mengabaikan kesehatan diri dan keseimbangan hidup.

Menjaga batas antara kerja dan istirahat bukanlah tanda kelemahan, melainkan kunci keberlanjutan. Kesuksesan sejati tidak datang dari kerja tanpa henti, tapi dari hidup yang utuh dan seimbang.