Ibu Baru Bukan Superwoman, Pentingnya Dukungan Mental Usai Melahirkan
- https://www.pexels.com/photo/mother-holding-her-cute-daughter-3995912/
Lifestyle, VIVA Bali – Kelahiran seorang bayi biasanya menjadi momen paling membahagiakan bagi keluarga. Namun, di balik tangisan pertama si kecil dan senyuman para tamu yang datang menjenguk, ada satu hal yang sering terabaikan: kondisi mental sang ibu.
Psikolog klinis dan hipnoterapis dari Poli Psikiatri RSUD Wangaya Kota Denpasar, Nena Mawar Sari, S.Psi., Cht, menekankan pentingnya perhatian terhadap kesehatan mental ibu pasca persalinan. Menurutnya, dukungan keluarga, terutama pasangan, menjadi kunci utama dalam mencegah gangguan psikologis yang bisa terjadi setelah melahirkan.
“Apa yang biasanya harus dilakukan adalah tentunya dukungan dari pasangannya, keluarganya. Ibu yang baru melahirkan butuh dukungan, bukan hanya pujian untuk bayinya,” ujar Nena saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (9/7).
Nena menjelaskan bahwa baby blues adalah kondisi emosional yang kerap dialami ibu baru akibat perubahan hormon, kelelahan, dan tekanan dari peran baru sebagai seorang ibu. Kondisi ini biasanya terjadi dalam waktu 3 hingga 5 hari setelah persalinan dan berlangsung maksimal dua minggu.
Ciri-ciri baby blues meliputi:
- Mudah menangis tanpa alasan
- Perubahan suasana hati secara tiba-tiba (mood swing)
- Mudah cemas atau tersinggung
- Rasa kewalahan menghadapi tugas sebagai ibu
- Gangguan tidur
“Istirahat yang cukup dan dukungan emosional dari keluarga sangat penting untuk membantu ibu melewati fase ini,” katanya.
Lebih serius dari baby blues, postpartum depression (depresi pasca melahirkan) memiliki gejala yang menetap dan bisa berlangsung hingga berbulan-bulan jika tidak ditangani.
Beberapa tanda dari postpartum depression antara lain:
- Kehilangan minat terhadap aktivitas atau lingkungan sekitar
- Menjauh dari orang-orang terdekat
- Merasa tidak pantas menjadi ibu
- Sulit tidur atau justru tidur berlebihan
- Perasaan tidak berguna, curiga pada pasangan
- Muncul pikiran untuk menyakiti diri sendiri atau bayinya
“Ini bukan sekadar kelelahan biasa. Jika muncul gejala seperti itu, ibu harus segera mendapatkan bantuan dari psikolog atau psikiater,” tegas Nena.
Nena juga menyoroti kebiasaan masyarakat yang saat menjenguk ibu baru, hanya fokus pada bayi dan memberi komentar-komentar sensitif terkait fisik bayi atau tubuh ibu.
“Komentar seperti ‘bayinya kecil ya’ atau ‘kamu belum kurusan ya?’ bisa berdampak besar pada kondisi mental ibu yang sedang sensitif. Ini bisa memperparah stres dan kecemasan,” jelasnya.
Ia mengajak para pengunjung untuk hadir dengan empati dan memastikan bahwa ibu juga merasa dilihat dan dihargai.
Media sosial sering kali menampilkan sosok ibu baru yang sudah tampil sempurna: tubuh langsing, wajah cerah, rumah rapi, dan bayi tertidur manis. Namun kenyataan tidak selalu seindah itu.
“Fakta di lapangan, tubuh butuh waktu untuk kembali seperti semula. Jangan terpaku pada gambaran ideal yang tak selalu realistis,” kata Nena.
Ia mendorong ibu baru untuk lebih fokus pada proses pemulihan dan koneksi emosional dengan bayinya, bukan pada penampilan atau ekspektasi orang lain.
Melahirkan bukan hanya soal membawa bayi ke dunia, tapi juga tentang transformasi besar dalam kehidupan seorang wanita. Proses ini penuh tantangan, tekanan, dan emosi yang kompleks. Maka, dukungan penuh dari pasangan, keluarga, dan lingkungan sangat dibutuhkan agar ibu tidak merasa sendiri.
“Ibu yang sehat secara mental akan lebih siap merawat bayinya dengan penuh cinta. Jangan hanya rayakan kelahiran si kecil, rayakan juga keberanian dan perjuangan ibunya,” tutup Nena.