Mengenal Berbagai Busana Tradisional Bali, Simbol Budaya Leluhur
- https://www.shutterstock.com/search/bali-traditional-clothes
Gumi Bali, VIVA Bali – Budaya Bali tak pernah lepas dari unsur seni dan spiritualitas. Salah satu wujud nyatanya terlihat pada keberagaman busana tradisional Bali yang masih digunakan hingga kini. Busana adat Bali bukan hanya elemen pakaian, melainkan bahasa simbolik yang merepresentasikan identitas, status sosial, hingga bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta (Indonesia.go.id, 10 Agustus 2022).
Dalam berbagai kegiatan adat, upacara keagamaan, dan momen penting lainnya, masyarakat Bali menyesuaikan bentuk busana yang dikenakan sesuai nilai kesakralan dan peran individu dalam upacara tersebut.
Dalam struktur sosial dan budaya Bali, dikenal tiga bentuk utama busana adat berdasarkan tingkat formalitas dan konteks penggunaannya yakni Payas Alit, Payas Madya, dan Payas Agung. Ketiganya memiliki aturan tersendiri dalam pemakaian, warna, aksesoris, dan makna spiritual yang dikandungnya.
1. Payas Alit, Busana Kesederhanaan yang Sarat Nilai Spiritual
Payas Alit merupakan jenis busana adat Bali yang paling sederhana dan umum dipakai masyarakat dalam aktivitas sehari-hari seperti sembahyang di rumah atau menghadiri upacara keagamaan di pura yang tidak terlalu besar. Meskipun terlihat sederhana, busana ini tetap mencerminkan penghormatan terhadap tradisi dan spiritualitas.
Pria mengenakan kamen (kain sarung khas Bali) berwarna putih atau polos yang dililitkan hingga sebatas pinggang, dipadukan dengan saput (kain lapisan luar), serta udeng putih sebagai penutup kepala. Sedangkan perempuan memakai kebaya putih sederhana, kain kamen, dan selendang yang dililitkan di pinggang sebagai simbol pengendalian diri (Dinas Kebudayaan Bali, 2021).
Busana ini banyak dijumpai saat hari raya seperti Galungan atau Kuningan ketika warga datang ke pura untuk bersembahyang bersama keluarga. Makna kesederhanaan yang diusung oleh Payas Alit mencerminkan nilai spiritualitas yang dalam: bahwa ibadah bukan soal kemewahan, tetapi kesucian niat.
2. Payas Madya, Perpaduan Kesopanan dan Keanggunan
Payas Madya merupakan tingkat tengah dari busana adat Bali yang dikenakan dalam upacara adat yang lebih formal namun bukan utama, seperti perayaan hari besar keagamaan di pura-pura besar atau ketika menjadi peserta dalam ritual penting. Secara tampilan, Payas Madya lebih kompleks dibanding Payas Alit, namun tidak semegah Payas Agung.
Pria memakai kemeja putih lengan panjang, kamen yang dipadukan dengan saput bercorak khas Bali, udeng bermotif, dan terkadang dilengkapi dengan keris kecil sebagai simbol keberanian dan kehormatan. Wanita mengenakan kebaya bordir atau brokat, kamen bermotif, dan selendang panjang yang menjuntai di bahu atau dililitkan di pinggang. Rambut ditata lebih rapi dan formal, kadang dihiasi dengan bunga atau aksesoris sederhana.
Makna filosofis Payas Madya tidak hanya soal keindahan penampilan, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap lingkungan sakral dan para leluhur. Busana ini mengajarkan masyarakat untuk tampil sopan dan penuh etika ketika memasuki ruang-ruang spiritual (Pemerintah Provinsi Bali, 2020).
3. Payas Agung, Simbol Kemegahan, Kebangsawanan, dan Kesucian
Payas Agung adalah puncak kemewahan dalam hierarki busana adat Bali. Digunakan dalam acara-acara agung seperti pernikahan adat, upacara Dewa Yadnya, atau upacara potong gigi (metatah) bagi anak-anak dari keluarga bangsawan, Payas Agung mencerminkan status sosial dan nilai sakralitas yang tinggi (Indonesia.go.id, 2022).
Busana pria terdiri dari kamen bermotif emas, saput yang disulam dengan benang emas atau perak, kampuh yang disampirkan di bahu, udeng berbentuk tinggi menyerupai mahkota, serta keris panjang yang diselipkan di belakang pinggang. Sementara wanita mengenakan kebaya brokat mewah dengan lengan panjang, kamen berlapis tiga atau lebih, selendang panjang berwarna terang, serta gelungan besar yang dihiasi bunga emas, bunga kamboja, atau ornamen perak.
Payas Agung bukan hanya menggambarkan keindahan tekstil Bali, tetapi juga menampilkan filosofi tentang harmoni, keagungan, dan penghormatan tertinggi kepada leluhur dan dewa-dewi dalam ajaran Hindu Bali (Wardani, 2019).
4. Busana Anak-anak, Mewariskan Nilai Sejak Dini
Sejak usia dini, anak-anak di Bali sudah dikenalkan pada penggunaan busana adat dalam berbagai upacara penting seperti upacara otonan (peringatan kelahiran), metatah, hingga ngaben. Busana anak laki-laki dan perempuan disesuaikan dengan bentuk tubuh dan tingkat usia, namun tetap mengacu pada struktur dasar busana dewasa.
Contohnya, anak laki-laki akan mengenakan kamen dan udeng kecil, sedangkan anak perempuan akan memakai kebaya mini dengan selendang berwarna cerah. Tradisi ini menjadi media edukasi kultural dan spiritual sejak dini yang memperkuat identitas kebalian mereka (Komunitas Seni Bali, 2023).
Salah satu busana tradisional Bali dipakai oleh penari
- https://www.istockphoto.com/id/search/2/image-film?phrase=tari+bali
5. Busana Seni Tari Tradisional, Ekspresi Visual yang Sakral
Selain untuk upacara adat dan keagamaan, busana tradisional Bali juga tampil dalam ranah seni pertunjukan, terutama tarian-tarian sakral dan hiburan. Setiap jenis tari memiliki desain busana yang unik dan khas sesuai dengan karakter tari tersebut.
Misalnya, Tari Legong ditandai dengan kebaya ketat, kamen bermotif emas, dan mahkota bunga emas menjulang tinggi. Gerakan lemah gemulai dalam tari ini diperindah dengan selendang panjang yang digunakan dalam setiap lirikan tangan penari.
Sementara itu, dalam Tari Barong dan Rangda, kostum yang digunakan sangat tebal dan rumit. Barong sebagai representasi kebaikan memakai topeng berbulu lebat dan gigi besar, sedangkan Rangda sebagai simbol kejahatan mengenakan topeng menyeramkan, rambut panjang acak-acakan, serta jubah panjang berwarna hitam dan merah (Dinas Kebudayaan Bali, 2021).
Busana tari di Bali tidak hanya untuk estetika, tetapi juga memiliki peran sebagai media komunikasi spiritual antara dunia manusia dan dunia roh.
6. Makna Warna dan Arah dalam Busana Bali
Dalam filosofi Bali, warna memiliki arti mendalam dan sering dikaitkan dengan arah mata angin serta perwujudan dewa-dewa utama dalam Hindu Bali, yang dikenal dengan konsep Catur Warna dan Dewa Catur Lokapala.
Putih melambangkan kesucian dan dikaitkan dengan Dewa Iswara di arah timur. Merah melambangkan keberanian dan dikaitkan dengan Dewa Brahma di arah selatan. Kuning mewakili kebijaksanaan, dikaitkan dengan Dewa Mahadewa di barat. Hitam melambangkan kestabilan dan kekuatan, dikaitkan dengan Dewa Wisnu di arah utara (Wardani, 2019).
Penggunaan warna ini tidak sembarangan, melainkan disesuaikan dengan jenis upacara, lokasi pura, dan posisi spiritual seseorang dalam masyarakat. Bahkan dalam busana, harmoni antara warna, arah, dan makna spiritual menjadi landasan penting.
Busana adat Bali adalah refleksi budaya yang sangat hidup dan terus berevolusi, namun tetap mempertahankan esensi kesakralan dan simbolismenya. Setiap jenis busana menyimpan makna filosofis mendalam tentang hubungan manusia dengan alam, leluhur, dan Tuhan. Melalui pelestarian dan pemakaian busana adat, masyarakat Bali bukan hanya melestarikan warisan nenek moyangnya, tetapi juga menyampaikan pesan-pesan spiritual kepada generasi mendatang.
Mengenal busana adat Bali bukan sekadar memahami bentuk pakaian, melainkan turut meresapi nilai-nilai luhur di balik setiap helaian kain, benang, dan warna yang membalut tubuh. Dan dalam setiap langkah masyarakat Bali, busana adat adalah cermin jiwa yang menyatu dengan budaya, alam, dan semesta.