Menjaga Tawa di Tanah Simalungun
- https://unsplash.com/id/foto/2-anak-laki-laki-dan-perempuan-bermain-sepak-bola-di-siang-hari-lubfvGOg3YM?utm_content=creditShareLink&utm_medium=referral&utm_source=unsplash
Budaya, VIVA Bali – Sore itu, matahari belum sepenuhnya turun. Di sebuah lapangan tanah di Kecamatan Raya, sekelompok anak berlari kecil sambil tertawa lepas. Debu beterbangan, langkah kaki berkejaran, dan suara sorak-sorai terdengar nyaring. Mereka sedang bermain marlubuk, sebuah permainan tradisional yang telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Simalungun.
Bagi orang luar, permainan itu mungkin sekadar ajang berlari dan tertawa. Tetapi, bagi masyarakat Simalungun, permainan tradisional seperti marlubuk, marsitengka, hingga marjalengkat adalah warisan yang menyimpan lebih banyak cerita. Sebagaimana dijelaskan dalam penelitian Ramlan Damanik dan rekan-rekan, permainan ini menjadi media pendidikan karakter yang tidak kalah penting dari sekolah formal karena mengajarkan kejujuran, toleransi, hingga kepedulian sosial.
Lebih dari Hiburan
Di tepian lapangan, seorang nenek duduk sambil tersenyum melihat cucunya bermain. “Dulu, kami juga seperti mereka. Main sampai malam, lupa pulang,” kenangnya. Ungkapan itu mengingatkan kita bahwa permainan tradisional bukan hanya hiburan, melainkan jembatan antar generasi.
Peneliti menemukan bahwa anak-anak yang terlibat dalam permainan ini tidak hanya belajar bergerak. Mereka juga berlatih disiplin mengikuti aturan serta belajar menerima kemenangan maupun kekalahan dengan lapang dada. Hal ini memperlihatkan bahwa permainan tradisional adalah “kelas tanpa dinding” yang efektif membentuk karakter anak sejak dini.
Nilai dalam Setiap Langkah
Dalam marsitengka, anak-anak harus melompat dengan satu kaki melewati kotak-kotak tanah yang digambar sederhana. Dari luar terlihat sepele, tetapi di dalamnya ada pelajaran keseimbangan, kesabaran, dan fokus.
Begitu juga dengan pattik lele, permainan dengan kayu kecil yang dipukul hingga melayang jauh. Di sini, anak-anak belajar tentang strategi, kerja keras, dan keberanian mengambil risiko. Damanik menyebutkan, setiap permainan tradisional Simalungun mengandung nilai budaya yang mencakup religiusitas, disiplin, kemandirian, serta kepedulian terhadap sesama.
Namun, kehangatan itu pelan-pelan tergerus. Suara tawa anak yang dulu mudah ditemui kini sering digantikan oleh kesunyian layar ponsel. Peneliti menekankan bahwa modernisasi dan perubahan ruang bermain akibat urbanisasi menjadi tantangan besar dalam upaya pelestarian permainan tradisional Simalungun. Jika tidak segera ada upaya konkret, permainan yang sarat makna itu hanya akan tersisa dalam cerita orang tua kepada cucu.
Harapan di Tengah Perubahan
Meski begitu, harapan selalu ada. Beberapa sekolah mulai mengenalkan kembali permainan tradisional dalam kegiatan olahraga, sementara komunitas budaya mengadakan festival lomba marlubuk atau marjalengkat. Upaya kecil ini menjadi pengingat bahwa identitas budaya tidak boleh hilang.
Permainan tradisional bukan hanya tentang masa lalu. Ia adalah bekal bagi generasi masa depan. Mengajarkan ketekunan, kebersamaan, dan rasa bangga pada akar budaya sendiri.
Sore di tanah Simalungun kembali riuh dengan tawa. Anak-anak berlarian, tanah menempel di kaki, dan wajah mereka bersinar tanpa beban. Permainan tradisional itu mungkin terlihat sederhana, tapi sesungguhnya ia adalah warisan berharga. Sebuah pesan dari leluhur bahwa dalam setiap lompatan, setiap giliran, dan setiap tawa, tersimpan nilai-nilai kehidupan yang patut dijaga.