Mengulik Sisi Psikologi dari Keserakahan

Uang dan konotasi serakah
Sumber :
  • https://www.freepik.com/free-photo/investment-shopping-finance-concept-greedy-funny-blond-guy-hugging-money-looking-camera-showing-intense-desire

Lifestyle, VIVA Bali – Manusia tak pernah puas. Ungkapan itu ternyata ada dasarnya. Sebuah penelitian dari Patrick Mussel dan Johannes Hewig (2016) mengupas tuntas bagaimana sifat rakus atau dalam istilah psikologi disebut dispositional greed mewarnai perilaku manusia sehari-hari.

Greed, Bukan Sekadar Rakus

Greed di sini bukan hanya soal menimbun uang atau barang mewah. Ia adalah dorongan tak pernah puas untuk “lebih banyak lagi”, entah itu harta, status, kekuasaan, bahkan pengakuan sosial. Bedanya dengan materialisme biasa, orang yang materialistis bisa merasa cukup setelah membeli barang mewah. Sementara orang yang benar-benar rakus justru merasa kosong karena masih ada yang belum mereka miliki.

Greed vs. Kerja Sama

Penelitian ini menguji ratusan partisipan dengan berbagai “permainan ekonomi”. Hasilnya? Mereka yang skornya tinggi dalam sifat rakus punya beberapa kecenderungan. Mereka lebih sering mengambil bagian terbesar dari sumber daya bersama. Mereka juga cenderung menyimpan uang lebih banyak untuk diri sendiri dalam dictator game. Tak ketinggalan, mereka yang serakah lebih berani ambil risiko tinggi demi kemungkinan keuntungan besar. Dengan kata lain, orang yang rakus lebih suka bermain solo demi keuntungan pribadi, meskipun itu merugikan orang lain.

Emosi yang Naik Turun

Tak hanya perilaku, keserakahan juga memengaruhi emosi. Saat kalah uang, individu yang rakus bereaksi jauh lebih negatif. Sebaliknya, saat menang, mereka merasakan euforia yang lebih intens dibanding orang lain. Jadi, hidup mereka ibaratkan ombak banyu, penuh kegembiraan saat mendapat lebih, tapi juga mudah frustrasi saat kehilangan.

Greed dan Sisi Gelap Kepribadian

Yang mengejutkan, sifat rakus punya hubungan erat dengan meanness, salah satu dimensi psikopati. Artinya, orang yang rakus cenderung lebih dingin, kurang empati, dan tak segan mengorbankan kepentingan orang lain demi keuntungan sendiri. Tak heran bila keserakahan sering dianggap biang kerok krisis finansial, korupsi, atau skandal bisnis.

Apakah Selalu Buruk?

Meski sering dipandang negatif, keserakahan tak selalu berujung bencana. Dalam konteks tertentu, misalnya ambisi untuk meningkatkan karier atau mendorong inovasi, dorongan “ingin lebih” bisa jadi bahan bakar kemajuan. Persoalannya muncul ketika “ingin lebih” disandingkan dengan “tak peduli pada orang lain”.

Menutup Dompet, Membuka Hati

Kesimpulannya, penelitian ini memberi gambaran bahwa keserakahan bukan sekadar sifat buruk yang dimiliki segelintir orang. Ia adalah kecenderungan psikologis yang bisa dimiliki siapa saja, dalam kadar berbeda. Pertanyaannya, apakah kita bisa mengendalikan nafsu “ingin lebih” agar tetap sehat, tanpa berubah menjadi sikap egois yang merugikan dan korup?