Karapan Sapi Madura, Antara Tradisi, Hiburan, dan Kontroversi
- https://id.m.wikipedia.org/wiki/Karapan_sapi
Tradisi, VIVA Bali –Bagi masyarakat Madura, karapan sapi bukan sekadar adu cepat sepasang sapi jantan di arena pacuan. Ia adalah “pesta rakyat” yang telah berlangsung turun-temurun, sarat makna sejarah, sosial, hingga religius. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi ini menghadapi pergeseran makna dan kritik tajam. Lalu, apa yang sebenarnya membuat karapan sapi begitu istimewa sekaligus kontroversial?
Asal Usul Kerapan Sapi
Tradisi karapan sapi bermula dari dakwah Kyai Ahmad Baidawi atau Pangeran Katandur. Beliau memperkenalkan cara bercocok tanam jagung sekaligus penggunaan sapi sebagai tenaga bajak. Dari kebiasaan mengolah tanah sambil berlomba lari sapi inilah lahir karapan sapi. Seperti disebutkan dalam KARSA: Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman, XI(1), 69–76, “pesta panen di Madura awalnya disertai lomba lari sapi sebagai hiburan sekaligus motivasi bagi petani.”
Tradisi ini kemudian berkembang menjadi perayaan budaya yang menarik perhatian masyarakat luas, bahkan wisatawan mancanegara.
Karapan Sapi Masa Kini
Pelaksanaan karapan sapi kini terbagi menjadi dua bentuk: formal dan non-formal. Karapan formal diatur pemerintah daerah dan puncaknya adalah Kerapan Sapi Gubeng yang memperebutkan Piala Presiden RI. Sementara itu, karapan non-formal kerap muncul sebagai ajang adat, nadzar, atau bahkan taruhan.
Pertunjukan ini makin meriah dengan pawai sapi berhias, musik saronên, serta tari pecut massal. Namun di balik kemegahannya, muncul pula praktik yang menuai kritik, seperti penggunaan ramuan jamu berlebihan hingga penyiksaan sapi agar berlari lebih cepat.
Antara Manfaat dan Mudarat
Karapan sapi jelas memberikan dampak positif. Ia menjadi identitas budaya Madura, daya tarik wisata, serta peluang ekonomi bagi pedagang kecil. Bahkan, perawatan sapi karapan pernah dinobatkan sebagai objek wisata budaya unggulan di Jawa Timur.
Namun, penelitian juga menyoroti sisi kelamnya. “Karapan sapi masa kini telah bergeser dari festival budaya menjadi ajang komersialisasi dan bullraces.” Penyiksaan sapi, praktik judi, hingga konflik antar pemilik ternak membuat tradisi ini dianggap menyimpang dari nilai asli masyarakat Madura yang menjunjung andep asor (rendah hati).
Alternatif: Sapê Sono’ dan Sapi Hias
Sebagai alternatif, masyarakat Madura juga memiliki tradisi sapê sono’ (kontes sapi betina) dan sapi hias. Berbeda dengan karapan, dua tradisi ini menonjolkan keanggunan, estetika, dan penghormatan terhadap ternak. Dalam lomba tersebut, sapi diperlakukan dengan penuh perhatian, dihias indah, bahkan diiringi musik dan tarian.
Kedua tradisi ini dinilai lebih sejalan dengan semangat budaya Madura yang religius, humanis, dan penuh nilai seni.
Karapan sapi adalah simbol budaya Madura yang unik, namun kini berada di persimpangan. Antara pelestarian tradisi dan kritik atas praktik negatifnya, masyarakat ditantang untuk bijak menentukan arah. Jika tidak dikembalikan ke akar budayanya, lebih arif melestarikan sapê sono’ dan sapi hias sebagai alternatif yang sesuai dengan nilai luhur orang Madura.