Perempuan Pengrawit, Suara Lain dari Balik Gamelan Bali yang Biasanya Didominasi Pria

Ketukan gangsa menyalakan jiwa perempuan pengrawit
Sumber :
  • https://i.ytimg.com/vi/0u8n8iwm2aE/hq720.jpg

Gumi Bali, VIVA Bali – Gamelan Bali, dengan deretan gong, kendang, dan gangsa yang memukau, telah lama menjadi identitas budaya Pulau Dewata. Namun di balik gemuruh instrumen yang biasanya dipimpin oleh pengrawit pria, kini muncul kekuatan baru: perempuan pengrawit. Fenomena ini tak hanya mengubah peta gender dalam dunia kesenian tradisional, tetapi juga menjadi simbol pergeseran sikap masyarakat Bali terhadap peran perempuan dalam ranah seni.

 

Sejarah Dominasi Pria dalam Gamelan Bali

 

Secara tradisional, gamelan Bali terutama barungan besar seperti gong kebyar dikenal sebagai arena “lelaki”. Peran kepala barungan dan penabuh kendang kerap dipegang kaum pria, sedangkan perempuan biasanya mengambil posisi pasindhèn (penyanyi) atau penari yang diiringi gamelan. Menurut Clifford Gēld (1998), pembaruan besar baru terjadi pada 1980-an ketika perempuan mulai diperkenankan menabuh gender wayang dalam pertunjukan ritual.

 

Kebangkitan Perempuan Pengrawit

 

Dalam dekade terakhir, sejumlah sanggar dan komunitas gamelan di Bali membuka ruang latihan khusus untuk perempuan. Gelombang awal muncul dari inisiatif seniman feminis dan budayawan lokal, yang menyadari bahwa keterlibatan perempuan dapat memperkaya karakter gamelan tanpa mengurangi keasliannya. Andy Channing menyebut bahwa modernisasi gamelan Bali memungkinkan eksperimentasi peran gender yang lebih inklusif.

 

Sanggar Seni Haridwipa Tabanan

 

Salah satu pelopor adalah Sanggar Seni Haridwipa di Tabanan. Pada April 2025, sanggar ini membentuk kelompok Gong Kebyar Wanita, yang sebagian besar anggota berasal dari pelajar SD hingga mahasiswa. Ketua sanggar, I Nyoman Sari, menyatakan:

 

“Perempuan pula harus diberikan ruang pertunjukan seni. Selama ini, penabuh gamelan wanita masih sangat sedikit, padahal banyak yang berminat dan berbakat.”

 

Latihan rutin dilaksanakan setiap Senin dan Jumat malam di balai desa. Pertunjukan perdana mereka berhasil menyita perhatian warga dan media lokal, hingga memicu berdirinya beberapa kelompok serupa di Gianyar dan Denpasar.

 

Suara Perempuan di Pesta Kesenian Bali

 

Di ajang tahunan Pesta Kesenian Bali (PKB), penampilan barungan gong kebyar wanita kini menjadi salah satu daya tarik utama. Pada PKB ke-46 di Denpasar, Kelompok Gong Kebyar Wanita Haridwipa tampil memukau dengan kostum putih keemasan, menghadirkan interpretasi baru pada tabuh kebyar klasik.

 

Manfaat Sosial dan Pendidikan

 

Penelitian UNESCO mencatat gamelan memainkan peran penting dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDG) 5: Gender Equality, karena keterlibatan perempuan dan anak-anak membangun kesetaraan serta memperkuat komunitas. Selain itu, sekolah-sekolah di Bali kini mulai memasukkan pelajaran gamelan untuk semua siswa, tanpa memandang gender, sebagai bagian dari pelestarian budaya dan pendidikan karakter.

 

Tantangan di Lapangan

 

Walau semangat tinggi, perempuan pengrawit masih menghadapi sejumlah tantangan:

1. Stigma Sosial
Beberapa kalangan konservatif menilai penabuh gengsa dan kendang sebagai “ruang lelaki”, sehingga perempuan yang berlatih sering mendapat komentar negatif dari tetua banjar.

2. Keterbatasan Akses
Ruang latihan yang berlokasi di pura atau wantilan sering tutup saat hari-hari upacara besar, membuat kelompok perempuan sulit menjadwalkan sesi rutin.

3. Kurasi Repertoar
Instrumen berat seperti gong besar masih minim akses untuk kelompok perempuan, sehingga variasi repertoar mereka terkadang terbatas pada gender wayang atau gangsa pemadé.

 

Harapan dan Arah Ke Depan

 

Ke depan, kolaborasi lintas sanggar dan dukungan pemerintah daerah dapat membuka peluang lebih besar bagi perempuan pengrawit. Beberapa rekomendasi antara lain:

1. Program Beasiswa Seni: Pemerintah kabupaten/kota membuka beasiswa bagi pelajar perempuan yang menekuni gamelan.

2. Festival Perempuan Pengrawit: Ajang khusus yang menampilkan kelompok-kelompok barungan wanita dari seluruh Bali.

3. Pelatihan Alat Berat: Workshop bagi perempuan untuk menguasai set lengkap gong kebyar dan gong gede.

 

Perempuan pengrawit telah membuktikan diri mampu berdiri sejajar dengan rekan-rekan pria dalam dunia gamelan Bali. Dari Sanggar Haridwipa hingga panggung PKB, suara mereka kini mengisi ruang yang selama ini tertutup. Revolusi kecil ini tak hanya soal musik, tetapi juga soal kesetaraan dan pelestarian budaya yang inklusif.