Gending Rare, Menyusuri Jejak Tarian Bali yang Hampir Punah di Desa-Desa Terpencil

Tarian trans sakral dari Bali, Sanghyang Dedari
Sumber :
  • https://assets.promediateknologi.id/crop/0x0:0x0/0x0/webp/photo/p3/155/2025/02/07/Ini-Dia-Tari-Sanghyang-Dedari-Menari-di-Antara-Dunia-dengan-Ritual-Mistis-443522493.jpg

Gumi Bali, VIVA Bali – Bali, pulau yang identik dengan tarian Kecak yang megah dan Legong yang anggun, menyimpan harta karun budaya lain di balik gemerlap pariwisatanya: Gending Rare.

Istilah ini merujuk pada berbagai tarian tradisional langka dan sakral yang hidup terpencil di desa-desa adat pelosok Bali. Jarang tersentuh liputan media besar, tarian-tarian kuno ini adalah penjaga filosofi, ritual, dan narasi masyarakat Bali asli. Namun, kini mereka menghadapi ancaman kepunahan serius akibat arus modernisasi, minimnya regenerasi, dan keterbatasan sumber daya.

Kondisi Kritis: Sebuah Warisan yang Terancam

1. Kelangkaan Ekstrim: Tarian seperti "Sanghyang Dedari" (ritual trance penari gadis kecil untuk memanggil dewata demi kesuburan dan pengusir wabah), "Tari Barong Brutuk" di Desa Trunyan (menggunakan topeng berat dari serat pisang, dimainkan oleh remaja pria dalam ritual penyucian), atau versi autentik "Tari Telek" (tarian sakral pelindung dari roh jahat) di desa-desa seperti Bondalem, hanya dikuasai oleh segelintir sesepuh berusia lanjut. Keahlian ini diturunkan secara lisan dan praktik langsung, membuatnya sangat rentan.

2. Ancaman Ganda: Generasi muda desa seringkali kurang tertarik mempelajarinya karena tingkat kesulitan tinggi, sifatnya yang sangat sakral (membutuhkan disiplin spiritual), dan persepsi bahwa tarian ini tidak "menjanjikan" secara ekonomi dibanding pekerjaan di sektor pariwisata. Akses transportasi yang sulit ke desa-desa terpencil juga menghambat upaya dokumentasi dan promosi.

3. Liputan Media yang Tidak Merata: Pemberitaan budaya Bali di media nasional dan internasional cenderung berfokus pada tari-tari populer yang telah dikomersialkan untuk pariwisata, mengabaikan kekayaan dan keragaman tari langka yang justru menjadi akar budaya tersebut di desa-desa.

Upaya Pelestarian: Semangat dari Akar Rumput dan Lembaga

1. Komunitas Desa Adat: Benteng Pertahanan Utama: Desa-desa seperti Tenganan Pegringsingan (Karangsem) dengan ritualnya, Trunyan (Kintamani) dengan Barong Brutuk, dan Bondalem (Tejakula, Buleleng) dengan Telek-nya, menjadi ujung tombak. Mereka secara aktif mengadakan latihan rutin intensif untuk anak-anak dan remaja, dipimpin langsung oleh tetua adat dan seniman sepuh. Integrasi tarian ini ke dalam upacara adat wajib (odalan, piodalan, ruwatan) adalah strategi utama untuk mempertahankan konteks, fungsi, dan kesakralannya.

2. Dokumentasi Sistematis: Lembaga seperti Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar (dulu STSI) dan Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bali (di bawah Kemendikbud) gencar melakukan penelitian dan pendokumentasian. Mereka merekam video gerakan detail, mencatat notasi gamelan pengiring (gending), dan mengumpulkan narasi filosofis serta ritual dari para tetua sebelum pengetahuan itu hilang.

3. Panggung untuk yang Langka: Festival Seni Bali (Pesta Kesenian Bali/PKB) yang diselenggarakan setiap tahun di Denpasar menyediakan panggung khusus bagi desa-desa terpencil untuk mempertunjukkan tari-tari langka mereka. Ini menjadi sarana vital untuk meningkatkan apresiasi publik dan kebanggaan komunitas asal.

4. Pendidikan Informal di Sanggar: Sanggar seni yang digerakkan oleh seniman lokal di desa-desa atau kabupaten mulai memasukkan elemen tari langka ke dalam kurikulum pengajarannya, meskipun dengan sumber daya yang sangat terbatas. Ini adalah pintu masuk untuk menarik minat anak muda.

Tantangan Berat yang Masih Membayangi

1. Dilema Sakralitas vs. Pelestarian Publik: Beberapa tari, terutama yang bersifat ritual magis seperti Sanghyang Dedari, memiliki aturan ketat. Mereka tidak boleh dipentaskan sembarangan, difilmkan secara detail, atau dipertontonkan di luar konteks ritualnya. Hal ini menyulitkan upaya promosi dan dokumentasi menyeluruh untuk kepentingan arsip.

2. Keterbatasan Dana yang Nyata: Pembuatan dan perawatan kostum tradisional yang autentik (sering dari bahan alami dan rumit), alat musik tradisional (gamelan spesifik), serta biaya pelatihan rutin dan pemberian insentif simbolis kepada pelatih sepuh membutuhkan dana yang tidak mudah didapat oleh desa-desa kecil.

3. Regenerasi: Tantangan Inti: Mempertahankan dan meningkatkan minat generasi muda tetap menjadi tantangan terbesar. Gempuran budaya populer global dan daya tarik ekonomi sektor pariwisata konvensional seringkali lebih kuat.

Merawat Napas Keaslian Bali

Pelestarian Gending Rare bukan sekadar tentang menyimpan gerak dan irama. Ini adalah upaya menyelamatkan identitas budaya, kearifan lokal, sistem kepercayaan, dan sejarah lisan masyarakat Bali yang paling autentik, yang bersemayam di jantung desa-desa terpencilnya. Semangat gigih warga desa adat dan dedikasi lembaga budaya adalah penopang utama harapan ini.

Namun, dukungan berkelanjutan dari pemerintah (dana, kebijakan), akademisi/peneliti (dokumentasi mendalam), dan wisatawan budaya yang bertanggung jawab (menghormati aturan, mendukung ekonomi lokal) sangat dibutuhkan. Agar jejak langkah penari Gending Rare tak hanya menjadi kenangan dalam arsip, tetapi terus hidup mengiringi ritus dan napas kehidupan masyarakat Bali di pelosoknya.